Syaikh Dr. Rabi Bin Hadi Al Madkhali :
Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala, shalawat serta salam
semoga senantiasa tercurah atas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
keluarganya dan shahabatnya serta orang-orang yang mengikuti
petunjuknya. Amma Ba’du.
Sungguh telah sampai kepadaku beberapa selebaran yang memuat
perkataan dua ulama besar salafy yaitu Syaikh Bin Baz dan Syaikh Ibnu
‘Utsaimin Rahimahullah.
Sebagian pengikut Jama’ah Tabligh berusaha menyebarkannya dan
mengedarkannya di kalangan orang-orang bodoh (tidak berilmu) dan orang
yang tidak mengerti hakikat manhaj mereka (yakni manhaj Jama’ah Tabligh)
yang bathil dan aqidah mereka yang rusak.
Memang di dalam perkataan dua Syaikh tersebut terdapat pernyataan yang memuji Jama’ah Tabligh.
Fatwa Syaikh Bin Baz berdasarkan penuturan seorang Tablighy (pengikut
Jama’ah Tabligh) atau pendukungnya, dia menceritakan kepada Syaikh Bin
Baz berita yang bertentangan dengan keadaan Jama’ah Tabligh yang
sebenarnya. Dia juga memberikan gambaran yang berlawanan dsri
kenyataannya.
Yang menguatkan ucapan kami adalah perkataan Syaikh Bin Baz Rahimahullah berikut:
“Tidak diragukan lagi bahwa umat manusia sangat membutuhkan
pertemuan-pertemuan yang bagus semacam ini, yaitu perkumpulan dalam
rangka mengingat Allah (dzikrullah), menyeru untuk berpegang teguh
dengan islam, menerapkan ajaran-ajaran- Nya dan membersihkan tauhid dari
bid’ah dan khurofat. (lihat fatwa Beliau, no 1007, tanggal 17/8/1407 H
dan yang disebarkan oleh Jama’ah Tabligh sekarang).
Dari sini teranglah bahwa tablighy di atas menyebutkan dalam
selebarannya bahwa Jama’ah Tabligh menyeru untuk berpegang teguh dengan
islam dan menerapkan ajaran-ajaran-Nya dengan membersihkan tauhid dari
bid’ah dan khurofat. Oleh karena itulah, maka Syaikh Bin Baz memuji
mereka.
Seandainya penulis selebaran tersebut mengungkapkan fakta sebenarnya
dan menggambarkan hakikat keadaan mereka serta menjelaskan hakikat
manhaj mereka yang rusak, niscaya Syaikh Bin Baz As-Salafy Al-Muwahhid
pasti mencela mereka dan memperingatkan umat dari bahayanya mereka
sebagaimana yang beliau lakukan pada fatwa beliau yang terakhir tentang
mereka yang akan dilampirkan di sini pula.
Adapun di dalam perkataan Al-Allamah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga
terdapat pernyataan yang menunjukkan bahwa beliau membiarkan ajaran
mereka. Perhatikan pernyataan beliau berikut ini:
“Perhatikan” Jika perselisihan terdapat pada masalah aqidah maka wajib
diluruskan. Apabila perkara tersebut menyelisihi madzab salaf, maka
wajib diingkari dan wajib memperingatkan umat dari bahaya orang yang
menelusuri jalan yang menyelisihi madzab salaf dalam bab ini. Lihat
fatwa Ibnu ‘Utsaimin 92/936-944) sebagaimana disebutkan dalam selebaran
yang diedarkan oleh Jama’ah Tabligh sekarang.
Tidak diragukan lagi bahwa perselisihan antara salafiyyun Ahlus
Sunnah dan Ahlut Tauhid dengan Jama’ah Tabligh adalah suatu perselisihan
yang sangat keras dan tajam dalam masalah aqidah dan manhaj.
Jama’ah Tabligh berpahaman Maturidiyah yang meniadakan sifat-sifat
Allah. Mereka juga menganut paham Sufiyah dalam ibadah dan suluk (tata
pergaulan-pent). Mereka berbai’at diatas empat Thariqat Sufiyah yan
tenggelam dalam kesesatan. Thariqat-thariqat tersebut dibangun diatas
pemahaman Hulul (Allah menyatu pada diri seseorang- pent), Wihdatul
Wujud (semua yang ada adalah jelmaan Allah), Syirik dengan menyembah
kubur dan kesesatan yang lainnya.
Pujian Syaikh ‘Utsaimin di atas pasti karena beliau belum mengetahui
keadaan mereka yang sebenarnya. Seandainya beliau mengetahui (niscaya)
beliau akan merendahkan dengan kesesatan mereka dan memperingatkan umat
dengan peringatan yang paling keras. Dan beliau pasti akan menempuh
jalan yang telah ditempuh oleh dua Syaikh beliau, yaitu syaikh Muhammad
bin Ibrahim dan Imam Syaikh Bin Baz. Sebagaimana yang dilakukan oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany, Syaikh Abdurrazaq ‘Afify, Syaikh
Shaleh Bin Fauzan Al-fauzan, Syaikh Hamud At- Tuwaijiry, Syaikh
Taqiyudin Al-Hilaly, Syaikh Sa’d Al-Husain, Syaikh Syaifurrahman dan
Syaikh Muhammad Aslam.
Para masyayikh di atas memiliki beberapa karangan yang agung yang
menjelaskan tentang kesesatan Jama’ah Tabligh dan bahayanya ajaran
mereka baik dari sisi aqidah atau manhaj. Silakan penuntut kebenaran
merujuk kepada kitab-kitab tersebut.
Sungguh telah rujuk (kembali kepada kebenaran ) Abdurrahman Al-Mushry
dari buku-bukunya yang mengandung pujian atas Jama’ah Tabligh, dan dia
mengakui kesalahannya di sisiku.
Adapun Yusuf Al-Mulahy yang telah bergabung beersama Jama’ah Tabligh
selama bertahun-tahun lamanya, kemudian menulis buku yang menjelaskan
kesesatan dan rusaknya aqidah mereka. Namun sangat disesalkan, dia
berbalik dari kebenaran. (Akhirnya) diapun menulis kitab terakhir yang
menceritakan tentang kebaikan mereka, sedang bukunya yang pertama dia
biarkan saja.
Namun tulisan para ‘ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tentang manhaj
Jama’ah Tabligh telah melumatkan kebatilannya. Terlebih lagi sebuah
kaidah yang agung mengatakan bahwa,
“Celaan lebih didahulukan dari pujian”
Kaidah ini membatalkan setiap pujian dari siapapun yan memuji Jama’ah
Tabligh, seandainya Tablighiyun (pengikut Jama’ah Tabligh) komitmen
dalam memegang kaidah-kaidah islamiyah yang benar, (maka mereka) akan
menempuh jalannya ahlul ilmi dan jalannya orang-orang yang memberi
nasihat kepada Islam dan muslimin.
Ditulis oleh: Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali
Pada 29 /Muharam / 1421 H
(Fatwa Syaikh Dr. Rabi Bin Hadi Al Madkhali, Edisi Indonesia Fatwa
Ulama Seputar Jama’ah Tabligh, Penerjemah Abu Bakar, Penerbit Al Haura)
Fatwa Terakhir Syeikh Abdul Aziz Bin Baz : Tahdzir (Peringatan) atas Jama’ah Tabligh
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz telah ditanya tentang Jamaah
Tabligh, si penanya berkata : “Wahai samahatu Syeikh, kami mendengar
tentang Jamaah Tabligh dan dakwah yang mereka lakukan. Apakah Syeikh
menasehatiku untuk bergabung dengan jamaah ini? Saya mohon diberi
bimbingan dan nasehat, semoga Allah melipatgandakan pahala syeikh”.
Maka Syeikh menjawab dengan mengatakan : Setiap orang yang berdakwah
kepada Allah maka ia adalah mubaligh, (balighu ‘anni walau ayah) artiya
“sampaikanlah dariku walau satu ayat”. Akan tetapi Jamaah Tabligh yang
terkenal, yang berasal dari india ini, mereka memiliki
khurafat-khurafat, mereka memiliki sebagian bid’ah-bid’ah dan perbuatan
syirik, maka tidak boleh keluar (berpergian) bersama mereka, kecuali
seorang yang memiliki ilmu, ia keluar untuk mengingkari perbuatan
mereka, dan mengajar mereka. Adapun jikalau ia keluar untuk mengikuti
mereka, maka jangan (jangan keluar bersama mereka-pent). Karena mereka
memiliki khurafat-khurafat, mereka memiliki kesalahan dan kekurangan
dalam ilmu, akan tetapi jika ada jamaah dakwah selain mereka dari
kalangan ahli ilmu dan ahli pemahaman, maka (tidak mengapa-pent) ia
keluar bersama mereka untuk berdakwah kepada Allah. Atau seseorang yang
memiliki ilmu, dan pemahaman, maka ia keluar bersama mereka untuk
memahamkan mereka, mengingkari (kesalahan) mereka, dan membimbing mereka
kepada jalan yang baik, serta mengajar mereka, sehingga mereka
meninggalkan mazhab (ajaran) yang batil, dan memegang mazhab ahli sunnah
wal jamaah.”
Maka hendaklah jamaah tabligh dan siapa yang simpati kepada mereka
mengambil faidah dari fatwa ini yang menjelaskan kondisi mereka
sebenarnya, akidah mereka, manhaj mereka dan karangan-karangan pemimpin
mereka yang mereka ikuti. (Fatwa samahatus Syeikh Abdul Aziz Bin Baz ala
Jamaatu Tabligh, fatwa ini dikeluarkan di Taif kira-kira dua tahun
sebelum beliau wafat, dan didalamnya terdapat bantahan terhadap
kekeliruan Jamaah Tabligh terhadap perkataan yang lama yang bersumber
dari Syeikh, sebelum jelas baginya akan hakikat kondisi dan manhaj
mereka).
Jamaah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin tergolong dari 72 golongan (firqah sesat).
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz telah ditanya : “Semoga Allah
berbuat baik kepada Anda, hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam,
tentang berpecahnya umat-umat (yakni) sabda beliau : “Umatku akan
terpecah menjadi 73 golongan kecuali satu”. Apakah Jamaah Tabligh dengan
kondisi mereka yang memiliki beberapa kesyirikan dan bid’ah, dan Jamaah
Ikhwan Muslimin dengan kondisi mereka yang memiliki sifat hizbiyah
(berkelompok), dan menentang penguasa, serta tidak mau tanduk dan patuh,
apakah dua golongan ini masuk ? (ke dalam hadits tadi,red).
Maka Syeikh menjawab : “Dia masuk dalam 72 dolongan ini (golongan
sesat, red), barangsiapa yang menyelisihi akidah ahli sunnah maka ia
telah masuk kepada 72 golongan. Maksud dari sabda beliau (umatku) adalah
umat ijabah artinya mereka yang menerima dan menampakkan keikutan
mereka kepada beliau, tujuh puluh tiga golongan, yang lolos dan selamat
adalah yang mengikuti beliau dan konsekwan dalam agamanya. Dan tujuh
puluh dua golongan, di antara mereka ada bermacam-macam, ada yang kafir,
ada yang bermaksiat dan ada yang berbuat bid’ah.”
Lalu si penanya berkata : “Maksudnya kedua golongan ini (Jamaah
Tabligh dan Ikhwan) termasuk dari tujuh puluh dua ? Syeikh menjawab :
“Ya. Termasuk dari tujuh puluh dua, begitu juga Murjiah dan lainnya,
Murjiah dan Khawarij. Oleh sebagain ahli ilmu memandang Khawarij
tergolong dari orang kafir yang keluar dari Islam, akan tetapi ia
termasuk dari keumuman tujuhpuluh dua itu. (Direkam dalam pelajaran
syaikh Bin Baz, Syarh al Muntaqa di kota Thaif, sebelum beliau wafat
kira-kira dua tahun atau kurang).
Hukum Khuruj (Keluar) Bersama Jamaah Tabligh.
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz telah ditanya :
“Saya telah keluar bersama Jamaah Tabligh ke India dan Pakistan, kami
berkumpul dan shalat di mesjid-mesjid yang di dalamnya terdapat kuburan,
dan saya mendengar bahwa shalat di mesjid yang di dalamnya terdapat
kuburan, maka shalatnya batal (tidak sah), apakah pendapat Syeikh
tentang shalat saya, apakah saya mengulanginya, dan apa hukum khuruj
(keluar) bersama mereka kepada tempat-tempat seperti ini?
Jawab :
“Bismillah walhamdulillah, amma ba’du : Sesungguhnya Jamaah Tabligh,
mereka tidak mempunyai ilmu dan pemahaman dalam masalah-masalah akidah,
maka tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka, kecuali bagi orang yang
memiliki ilmu dan pemahaman tentang akidah yang benar yang dipegang
teguh oleh ahli sunnah wal jamaah, sehingga ia membimbing, dan
menasehati mereka, serta bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan,
karena mereka gesit dalam beramal, akan tetapi mereka butuh penamahan
ilmu dan butuh kepada orang yang akan memahamkan mereka dari kalangan
ulama-ulama tauhid dan sunnah. Semoga Allah menganugerahkan kepada semua
akan pemahaman dalam agama dan konsekwen di atasnya. Adapun shalat di
dalam mesjid-mesjid yang di dalamnya ada kuburan, maka shalatnya tidak
sah, dan kamu wajib mengulangi shalat yang kamu kerjakan di
mesjid-mesjid itu, karena Nabi bersabda :
“Allah telah melaknat Yahudi dan Narani yang mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai mesjid”. (Muttafaqun ‘alaihi).
Dan sabda Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam :
“Ingatlah sesungguhnya orang sebelum kalian, mereka menjadikan
kuburan nabi-nabi dan orang-orang shaleh mereka sebagai mesjid,
ingatlah, maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai
mesjid, sesungguhnya saya melarang kalian akan itu”. (H.R. Muslim). Dan
hadits-hadits pada hal ini sangatlah banyak, wa billahi taufiq, semoga
Allah menanugerakan salawat dan salam atas nabi kita Muhammad dan atas
keluarganya serta sahabatnya. (Fatwa dikeluarkan tanggal 2/11/1414 H)
Perkataan Syaikh Abdul Aziz Bin Baz : “Maka tidak boleh khuruj
(keluar) bersama mereka, kecuali orang yang mempunyai ilmu dan pemahaman
tentang akidah yang shahih yang dipegang teguh oleh Ahli Sunnah wal
Jamaah, sehingga ia bisa membimbing dan menasehati mereka serta bekerja
sama dengan mereka untuk melakukan kebajikan.”
Penyusun mengatakan : “Semoga Allah merahmati Syeikh, kalaulah mereka
itu mau menerima nasehat, dan bimbingan dari ahli ilmu, tentulah tidak
ada halangan untuk keluar (khuruj) bersama mereka, akan tetapi realita
yang membuktikan bahwasanya mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak
mau meninggalkan kebatilan mereka. Disebabkan ta’asub (fanatik) dan
sikap menuruti hawan nafsu mereka yang bersangatan. Kalaulah mereka
menerima nasehat-nasehat para ulama, niscaya mereka telah meninggalkan
manhaj mereka yang batil dan pastilah mereka telah menempuh jalan ahli
tauhid dan sunnah. Jika seandainya permasalahannya seperti itu, maka
tidaklah boleh khuruj (keluar) bersama mereka, sebagaimana sikap itu
merupakan sikap manhaj salafusholeh yang berpengang kepada kitab dan
sunnah dalam mentahdzir (memperingatkan) dari ahli bid’ah dan dari
bergaul serta bermajlis dengan mereka, karena hal itu adalah menambah
banyaknya keanggotaan mereka, dan membantu dan memperkuat bersebarnya
kesesatan mereka, dan hal itu adalah pengkhianatan terhadap agama Islam
dan kaum muslimin, terpedaya oleh mereka dan kerja sama dalam melakukan
dosa dan melampaui batas. Apalagi mereka itu melakukan bai’at
berdasarkan atas 4 macam tarikat (ajaran) sufi yang di dalamnya terdapat
keyakinan hululiyah (Allah menepati makhluk) dan wahdatul wujud (Allah
dan makhluk satu) serta syirik dan bid’ah.”
Fatwa Lajnah Daimah (Lembaga Tetap) tentang Jamaah Tabligh. No fatwa : 17776, tertanggal : 18/3/1416 H.
Seorang penanya (Muhammad Kahlid Al Habsi) bertanya setelah ia
mengemukakan pertanyaan pertama, sebagai berikut : Pertanyaan Kedua :
“Saya pernah membaca beberapa fatwa Syeikh (Ibnu Baz). Dan Syeikh
mendorong / mengajak pelajar (penuntut ilmu) untuk keluar (khuruj)
bersama Jamaah Tabligh, dan alhamdulillah kami telah khuruj bersama
mereka, dan kami memetik faidah yang banyak, akan tetapi, wahai Syeikh
yang mulia, saya melihat sebagian amalan (yang dikerjakan-pent) tidak
ada tercantum di dalam Kitabullah dan sunnah rasul-Nya seperti :
1. Membuat lingkaran di dalam mesjid pada setiap dua orang atau lebih,
lalu mereka saling mengingat sepuluh surat terakhir dari Al Quran, dan
konsisten dalam menjalankan amalan ini dengan cara seperti ini pada
setiap kali kami khuruj (keluar).
2. Ber’itikaf pada seriap hari Kamis dalam bentuk terus menerus.
3. Membatasi hari untuk khuruj, yaitu tiga hari dalam satu bulan, empat puluh hari setiap tahun dan empat bulan seumur hidup.
4. Selalu doa berjamaah setiap setelah bayan (pelajaran).
Bagaimanakah wahai syeikh yang mulia, jika seandainya saya keluar
bersama jamaah ini, dan saya melakukan amalan-amalan dan perbuatan ini
yang tidak pernah terdapat di dalam kitabullah dan sunnah rasul,
ketahuilah wahai syeikh yang mulia, sesungguhnya merupakan hal yang
sangat sukar sekali untuk merobah metode (manhaj) ini. Beginilah cara
dan metode mereka seperti yang diterangkan di atas.
Jawab :
“Apa yang telah anda sebutkan dari perbuatan jamaah ini (Jamaah
Tabligh) seluruhnya adalah bid’ah, maka tidak boleh ikut serta sama
mereka, sampai mereka berpegang teguh dengan manhaj kitab dan sunnah
serta meninggalkan bid’ah-bid’ah.”
Tertanda : Ketua Lajnah : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Anggota : Abdul Aziz bin Abdullah Ali Syeikh.
Anggota : Sholeh bin Fauzan Al Fauzan.
Anggota : Bakr bin Abdullah Abu Zaid.
Fatwa Syeikh ‘Alaamah Muhammad bin Ibrahim Ali Syeikh : Tahdzir (peringatan) dari jamaah Tabligh.
“Dari Muhammad bin Ibrahim ke hadapan pangeran Khalid bin Su’ud,
pimpinan kantor kerajaan yang terhormat, Assalamu’alaikum warahmatullah
wabarakatuh dan selanjutnya : Sungguh saya telah menerima surat Pangeran
(No 36/4/5-d, tertanggal 21/1/1382 H) beserta lampirannya, hal itu
adalah harapan yang diangkat kepada hadapan dipetuan agung Raja yang
terhotmat, dari Muhammad Abdul Majid Al Qadiri, Syah Ahmad Nurani, Abdus
Salam Al Qadiri dan Su’ud Ahmad Ad Dahlawi, sekitar permohonan mereka
minta bantuan untuk proyek organisasi mereka yang mereka namakan (Kuliah
Da’wah Tabligh Al Islamiyah) dan begitu juga buku-buku kecil yang
dilampirkan bersama surat mereka. Saya mengemukakan kepada hadapan
Pangeran, bahwasanya organisasi ini tidak ada kebaikan di dalamnya,
karena sesungguhnya ia adalah organisasi bid’ah dan sesat. Dan dengan
membaca buku-buku kecil yang dilampirkan dengan surat mereka, maka kami
telah menemukan buku-buku itu mengandung kesesatan, bid’ah dan dakwah
(ajakan) kepada mengibadati kubur dan syirik. Hal itu adalah perkara
yang tidak mungkin didiamkan. Oleh karena itu kami insya Allah akan
membalas surat mereka dengan apa yang mungkin menyingkap kesesatan
mereka dan membantah kebatilan mereka. Dan kita mohon kepada Allah
semoga Dia menolong agama-Nya, dan mengangkat kalimat-Nya,
wassalamu’alikum warahmatullah”. [S-M-405 pada tanggal 29/1/1382H].
(Rujukan kitab Al Qaulul Baligh fit Tahdzir Min Jamaatit Tabligh, oleh
syeikh Hamud At Tuwaijiri halaman : 289).
Fatwa syeikh Alaamah Muhammad Nasuruddin Al Albani tentang Jamaah Tabligh. Beliau pernah ditanya :
“Apakah pendapat Syekh tentang Jamaah Tabligh, apakah boleh bagi pelajar
(penuntut ilmu) atau lainnya untuk khuruj (keluar) bersama mereka
dengan dalih berdakwah kepada Allah ?
Maka beliau menjawab :
Jamaah Tabligh tidak berdiri (berdasarkan) atas manhaj kitabullah dan
sunnah rasul-Nya ‘alaihi salawat wa salam, dan apa yang dipegang oleh
salafuu sholeh. Kalau seandainya perkaranya seperti itu, maka tidaklah
boleh khuruj bersama mereka, karena hal itu bertentangan dengan manhaj
kita dalam menyampaikan manhaj salafus sholeh. Maka dalam medan dakwah
kepada Allah, yang keluar itu adalah orang yang berilmu, adapun
orang-orang yang keluar bersama mereka, yang wajib mereka lakukan adalah
untuk tetap tinggal di negeri mereka dan memperlajari ilmu di
mesjid-mesjid mereka, sampai-sampai mesjid-mesjid itu mengeluarkan ulama
yang melaksanakan tugas dalam dakwah kepada Allah. Dan selama
kenyataanya masih seperti itu, maka wajiblah atas penuntut ilmu
(pelajar) untuk mendakwahi mereka-mereka itu (Jamaah Tabligh-pent) di
dalam rumah mereka sendiri, agar mempelajari kitab dan sunnah dan
mengajak manusia kepadanya. Sedang mereka -yakni Jamaah Tabligh- tidak
menjadikan dakwah kepada kitab dan sunnah sebagai dasar umum, akan
tetapi mereka mengatagorikan dakwah ini sebagai pemecah. Oleh karena
itu, maka mereka itu lebih cocok seperti Jamaah Ikhwan Muslimin.
Mereka mengatakan bahwa dakwah kami berdiri atas kitab dan sunnah,
akan tetapi ini hanya semata-mata ucapan, sedangkan mereka tidak ada
akidah yang menyatukan mereka, yang ini Maturidi dan yang itu Asy’ari,
yang ini sufi dan yang itu tidak punya mazhab. Itu, karena dakwah mereka
berdiri atas dasar : bersatu, berkumpul, kemudian pengetahuan. Pada
hakikatnya mereka tidak mempunyai pengetahuan sama sekali, sungguh telah
berjalan bersama mereka waktu lebih dari setengah abad, tidak pernah
seorang alim pun yang lahir di tengah-tengah mereka. Adapun kita, maka
kita mengatakan : Berpengetahuan (dulu), kemudian berkumpul, sehingga
perkumpulan itu berada di atas pondasi yang tidak ada perbedaan di
dalamnya. Dakwah Jamaah Tabligh adalah sufi moderen, yang mengajak
kepada akhlak. Adapun memperbaiki akidah masyarakat, maka mereka itu
tidak bergeming, karena dakwah ini (memperbaiki akidah) -sesuai dengan
prasangka mereka- memecah belah.
Dan sungguh telah terjadi koresponden antara akh Sa’ad Al Hushain dan
pemimpin Jamaah Tabligh di India atau Pakistan, maka jelaslah darinya
bahwa sesungguhnya mereka itu menyetujui tawasul, dan istighatsah dan
banyak hal-hal lain yang sejenis ini. Dan mereka meminta kepada anggota
mereka untuk membai’at di atas emapat macam terikat (ajaran),
diantaranya adalah : An Naqsyabandiyah, maka setiap orang tabligh
seyogyanya untuk membai’at di atas dasar ini.
Dan mungkin seorang akan bertanya : Sesungguhnya Jamaah ini,
disebabkan usaha anggota-anggotnya telah kembali (insaf dan sadar)
kebanyakan manusia kepada Allah, bahkan mungkin melalui tangan-tangan
mereka kebanyakan orang non muslim telah masuk Islam. Apakah ini sudah
cukup sebagai dalih bolehnya untuk keluar dan bergabung bersama mereka
pada apa yang mereka dakwahkan? Maka kita katakan : “Sesungguhnya
ucapan-ucapan ini sering kami ketahui dan kami dengar dan kami dengar
(juga) dari orang-orang sufi!!. Ini bagaikan : Ada seorang syeikh
akidahnya rusak, dan tidak pernah mengetahui sedikitpun tentang sunnah,
bahkan ia memakan harta orang dengan cara batil (tidak sah)…. Disamping
itu banyak orang yang fasik (yang berdosa) bertaubat lewat tangannya….!
Maka setiap jamaah yang mengajak kepada kebajikan pasti mempunyai
pengikut, akan tetapi kita harus melihat kepada intisari permasalahan,
kepada apakah yang mereka mengajak / berdakwah? Apakah kepada mengikuti
kitabullah dan hadits Rasul, kepada akidah salafus sholeh, tidak
ta’ashub (fanatik) mazhab, dan mengikuti sunnah, dimanapun dan sama
siapapun? Maka Jamaah Tabligh, mereka tidak memiliki manhaj ilmu, akan
tetapi manhaj mereka sesuai dengan tempat dimana mereka berada, mereka
berubah warna dengan setiap warna.
(Rujuklah Fatwa Imaratiyah, karangan Al Albani soal no : 73 hal : 38).
Tulisan kelima dari lima tulisan (tulisan terakhir).
Fatwa Syeikh Alaamah Abdur Razzaq ‘Afifi Tentang Jamaah Tabligh.
Syeikh ditanya tentang khuruj Jamaah Tabligh dalam rangka
mengingatkan manusia kepada keagungan Allah. Maka Syeikh berkata : “Pada
kenyataannya, sesungguhnya mereka adalah mubtadi’ (orang yang membuat
bid’ah) yang mutar balikkan serta pelaku terikat (ajaran) Qadariyah dan
lainnya. Khuruj mereka bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di jalan
Ilyas (Muhammad Ilyas, pendiri Jamaah Tabligh-pent), mereka tidak
mengajak kepada kitab dan sunnah, akan tetapi mengajak kepada Ilyas
Syeikh mereka di Bangladesh. Adapun khuruj dengan tujuan dakwah kepada
Allah, itulah khuruj di jalan Allah, dan ini bukan khurujnya Jamaah
Tabligh. Saya mengetahui Jamaah Tabligh sejak zaman dahulu, mereka itu
adalah pembuat bid’ah di manapun mereka berada, di Mesir, di Israil, di
Amerika, di Saudi, semua mereka selalu terikat dengan syeikh mereka
yaitu Ilyas”.
(Fatawa dan Rasail oleh samahatu syeikh Abdur Razzaq ‘Afifi juz 1/174).
Fatwa Syeikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan Syeikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan telah ditanya :
“Apakah pendapat syeikh tentang orang yang keluar (khuruj) ke luar
Kerajaan Saudi untuk berdakwah, sedangkan mereka belum pernah menuntut
ilmu sama sekali, dan mereka memberikan motivasi untuk itu, dan mereka
elu-elukan syi’ar yang aneh, dan mendakwakan sesungguhnya siapa yang
keluar di jalan Allah untuk berdakwah, maka Allah akan memberinya ilham.
Mendakwakan sesungguhnya ilmu itu bukanlah syarat yang penting. Tentu
Syeikh mengetahui bahwa di luar kerajaan Saudi ini akan ditemukan
aliran-aliran dan agama-agama serta pertanyaan-pertanyaan yang akan
dilontarkan kepada si dai. Tidakkah Anda melihat wahai Syeikh yang
mulia, sesungguhnya orang yang keluar di jalan Allah itu harus mempunyai
senjata agar bisa menghadapi masyarakat, terkhusus di timur Asia,
dimana mereka memerangi / membenci pembaharu dakwah Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahhab? Saya mohon jawaban atas pertanyaan saya ini agar
manfaatnya menyebar.”
Jawab :
Khuruj (keluar) di jalan Allah, bukanlah khuruj yang mereka maksudkan
sekarang. Khuruj (keluar) di jalan Allah adalah keluar untuk berperang.
Adapun apa yang mereka namakan dengan khuruj itu, sesungguhnya ini
adalah bid’ah yang tidak pernah datang dari salaf. Seorang keluar untuk
berdakwah kepada Allah, tidaklah dibatasi pada hari-hari tertentu, akan
tetapi berdakwah kepada Allah sesuai dengan kesempatan dan kemampuannya,
tanpa harus terikat dengan jamaah atau terikat dengan empat puluh hari
atau kurang atau lebih. Dan begitu juga, di antara yang wajib atas
seorang dai, ia haruslah mempunyai ilmu, seseorang tidak boleh berdakwah
kepada Allah sedangkan ia bodoh (tidak berilmu), Allah berfirman :
Artinya : “Inilah jalanku, yang aku mengajak kepada Allah di atas
pengetahuan” Yaitu atas ilmu, karena seorang dai mesti mengetahui apa
yang akan didakwahinya, berupa hukum-hukum yang wajib, yang sunat, yang
haram dan yang makruh. Dia harus mengetahui apa itu syirik, maksiat,
kekufuran, kefasikan, kemaksiatan. Dan harus mengetahui tingkat-tingkat
pengingkaran, dan bagaimana cara mengingkari.
Khuruj yang menyebabkan disibukan dari menuntut ilmu adalah perkara
yang batil (salah), karena menuntut ilmu itu adalah fardu (kewajiban),
dan ilmu itu tidak bisa didapatkan kecuali dengan cara belajar, tidak
akan didapatkan dengan cara ilham, ini merupakan khurafat sufi yang
sesat, karena amal tanpa ilmu adalah kesesatan. Dan tentu meraih ilmu
tanpa belajar adalah angan-angan yang salah.
(Dari kitab Tsalatsu Muhadharat fil Ilmi Wad Da’wah)
(Dikutip dari terjemah Fatwa Syaikh Dr. Rabi Bin Hadi Al Madkhali,
Edisi Indonesia Fatwa Ulama Seputar Jama’ah Tabligh, Penerjemah Abu
Bakar, Penerbit Al Haura, terjemah Tsalatsu Muhadharat fil Ilmi Wad
Da’wah)
sumber artikel
"Lebah16"
Semanis Madu,, Seindah ISLAM.. Milik-Nya..
Monday, June 6, 2016
Tuesday, December 1, 2015
Biografi Syeikh Al Buthi dalam sudut pandang yg lain..
klik link dibawah.. untuk lebih jelas.
Biografi Syeikh Al Buthi dalam sudut pandang yg lain..
KEMATIAN Syeikh Ramadhan Al-Buthi pada Kamis (21/3/2013) masih terus menyimpan misteri dan pertanyaan kepada semua kaum Muslimin. Sebagian mengklaim ia adalah seorang syahid. Namun sebagian lain juga tak ragu menyatakan sang Syeikh adalah pendukung utama Bashar Al Assad yang telah membunuh lebih dari 60.000 kaum Muslimin Suriah hanya dalam waktu sekitar dua tahun saja
Monday, November 30, 2015
BIOGRAFI ASSYEIKH DR.SAID RAMADHAN AL BUTHI: Cendekiawan Timur Tengah Pembela Ahlussunnah
Gaya bahasanya istimewa. Tulisannya proporsional dengan
tema-tema yang diusungnya. Isinya tidak melenceng dan keluar dari akar
permasalahan dan kaya akan sumber-sumber rujukan.
INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI`UN, Kita telah kehilangan ulama terbaik kita masa kini AL'ALIM AL`ALLAMAH ASY SYAIKH SAID RAMADLAN AL BUTHI rahimahullahuta'ala, Beliau wafat diserang bom bunuh diri tepat saat beliau mengisi Ta'lim di Masjid Jami' Al Iman di Kota Damaskus, Suriah, ba`da maghrib Kamis, 21 Maret 2013. Beliau Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi adalah salah seorang tokoh ulama dunia yang menjadi sumber rujukan masalah-masalah keagamaan.
Ketika kritikan terhadap tradisi Maulid dan dzikir berjama’ah, misalnya, dilontarkan para pengklaim “muslim sejati”, Al-Buthi hadir menjawab kritikan itu. Tak tanggung-tanggung, dalil yang digunakan sama persis dengan dalil yang diambil para pengkritik itu.
Pada sisi lainnya, ia juga mengkritik dengan tajam pola pikir Barat. Ujaran-ujarannya membuat stereotip yang negatif tentang Islam dan ketimuran pun luruh.
Siapakah tokoh ulama kontemporer yang begitu alim ini? Sa’id Ramadhan Al-Buthi lahir pada tahun 1929 di Desa Jilka, Pulau Buthan (Ibn Umar), sebuah kampung yang terletak di bagian utara perbatasan antara Turki dan Irak. Ia berasal dari suku Kurdi, yang hidup dalam berbagai tekanan kekuasaan Arab Irak selama berabad-abad.
Bersama ayahnya, Syaikh Mula Ramadhan, dan anggota keluarganya yang lain, Al-Buthi hijrah ke Damaskus pada saat umurnya baru empat tahun. Ayahnya adalah sosok yang amat dikaguminya.
Pendidikan sang ayah sangat membekas dalam sisi kehidupan intelektualnya. Ayahnya memang dikenal sebagai seorang ulama besar di Damaskus. Bukan saja pandai mengajar murid-murid dan masyarakat di kota Damaskus, Syaikh Mula juga sosok ayah yang penuh perhatian dan tanggung jawab bagi pendidikan anak-anaknya.
Dalam karyanya yang mengupas biografi kehidupan sang ayah, Al-Fiqh al-Kamilah li Hayah asy-Syaikh Mula Al-Buthi Min Wiladatihi Ila Wafatihi, Syaikh Al-Buthi mengurai awal perkembangan Syaikh Mula dari masa kanak-kanak hingga masa remaja saat turut berperang dalam Perang Dunia Pertama. Kemudian menceritakan pernikahan ayahnya, berangkat haji, hingga alasan berhijrah ke Damaskus, yang di kemudian hari menjadi awal kehidupan baru bagi keluarga asal Kurdi itu.
Masih dalam karyanya ini, Al-Buthi menceritakan kesibukan ayahnya dalam belajar dan mengajar, menjadi imam dan berdakwah, pola pendidikan yang diterapkannya bagi anak-anaknya, ibadah dan kezuhudannya, kecintaannya kepada orang-orang shalih yang masih hidup maupun yang telah wafat, hubungan baik ayahnya dengan para ulama Damaskus di masa itu, seperti Syaikh Abu Al-Khayr Al-Madani, Syaikh Badruddin Al-Hasani, Syaikh Ibrahim Al-Ghalayayni, Syaikh Hasan Jabnakah, dan lainnya, yang menjadi mata rantai tabarruk bagi Al-Buthi. Begitu besarnya atsar (pengaruh) dan kecintaan sang ayah, hingga Al-Buthi begitu terpacu untuk menulis karyanya tersebut.
Dari Damaskus ke Kairo
Sa’id Ramadhan Al-Buthi muda menyelesaikan pendidikan menengahnya di Institut At-Tawjih Al-Islami di Damaskus. Kemudian pada tahun 1953 ia meninggalkan Damaskus untuk menuju Mesir demi melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar. Dalam tempo dua tahun, ia berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana S1 di bidang syari’ah. Pada tahun berikutnya di universitas yang sama, ia mengambil kuliah di Fakultas Bahasa Arab hingga lulus dalam waktu yang cukup singkat dengan sangat memuaskan dan mendapat izin mengajar bahasa Arab.
Kemahiran Al-Buthi dalam bahasa Arab tak diragukan. Sekalipun bahasa ini adalah bahasa ibu orang-orang Arab seperti dirinya, sebagaimana bahasa-bahasa terkemuka dalam khazanah peradaban dunia, ada orang-orang yang memang dikenal kepakarannya dalam bidang bahasa, dan Al-Buthi adalah salah satunya yang menguasai bahasa ibunya tersebut. Di samping itu, kecenderungan kepada bahasa dan budaya membuatnya senang untuk menekuni bahasa selain bahasa Arab, seperti bahasa Turki, Kurdi, bahkan bahasa Inggris.
Selulusnya dari Al-Azhar, Al-Buthi kembali ke Damaskus. Ia pun diminta untuk membantu mengajar di Fakultas Syari’ah pada tahun 1960, hingga berturut-turut menduduki jabatan struktural, dimulai dari pengajar tetap, menjadi wakil dekan, hingga menjadi dekan di fakultas tersebut pada tahun 1960.
Lantaran keluasan pengetahuannya, ia dipercaya untuk memimpin sebuah lembaga penelitian theologi dan agama-agama di universitas bergengsi di Timur Tengah itu.
Tak lama kemudian, Al-Buthi diutus pimpinan rektorat kampusnya untuk melanjutkan program doktoral bidang ushul syari’ah di Al-Azhar hingga lulus dan berhak mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu-ilmu syari’ah.
Aktivitasnya sangat padat. Ia aktif mengikuti berbagai seminar dan konferensi tingkat dunia di berbagai negara di Timur Tengah, Amerika, maupun Eropa. Hingga saat ini ia masih menjabat salah seorang anggota di lembaga penelitian kebudayaan Islam Kerajaan Yordania, anggota Majelis Tinggi Penasihat Yayasan Thabah Abu Dhabi, dan anggota di Majelis Tinggi Senat di Universitas Oxford Inggris.
Penulis yang Sangat Produktif
Al-Buthi adalah seorang penulis yang sangat produktif. Karyanya mencapai lebih dari 60 buah, meliputi bidang syari’ah, sastra, filsafat, sosial, masalah-masalah kebudayaan, dan lain-lain. Beberapa karyanya yang dapat disebutkan di sini, antara lain, Al-Mar‘ah Bayn Thughyan an-Nizham al-Gharbiyy wa Latha‘if at-Tasyri’ ar-Rabbaniyy, Al-Islam wa al-‘Ashr, Awrubah min at-Tiqniyyah ila ar-Ruhaniyyah: Musykilah al-Jisr al-Maqthu’, Barnamij Dirasah Qur‘aniyyah, Syakhshiyyat Istawqafatni, Syarh wa Tahlil Al-Hikam Al-‘Atha‘iyah, Kubra al-Yaqiniyyat al-Kauniyyah, Hadzihi Musykilatuhum, Wa Hadzihi Musykilatuna, Kalimat fi Munasabat, Musyawarat Ijtima’iyyah min Hishad al-Internet, Ma’a an-Nas Musyawarat wa Fatawa, Manhaj al-Hadharah al-Insaniyyah fi Al-Qur‘an, Hadza Ma Qultuhu Amama Ba’dh ar-Ru‘asa‘ wa al-Muluk, Yughalithunaka Idz Yaqulun, Min al-Fikr wa al-Qalb, La Ya‘tihi al-Bathil, Fiqh as-Sirah, Al-Hubb fi al-Qur‘an wa Dawr al-Hubb fi Hayah al-Insan, Al-Islam Maladz Kull al-Mujtama’at al-Insaniyyah, Azh-Zhullamiyyun wa an-Nuraniyyun.
Gaya bahasa Al-Buthi istimewa dan menarik. Tulisannya proporsional dengan tema-tema yang diusungnya. Tulisannya tidak melenceng dan keluar dari akar permasalahan dan kaya akan sumber-sumber rujukan, terutama dari sumber-sumber rujukan yang juga diambil lawan-lawan debatnya.
Akan tetapi bahasanya terkadang tidak bisa dipahami dengan mudah oleh kalangan bukan pelajar, disebabkan unsur falsafah dan manthiq, yang memang keahliannya. Oleh karena itu, majelis dan halaqah yang diasuhnya di berbagai tempat di keramaian kota Damaskus menjadi sarana untuk memahami karya-karyanya.
Walau demikian, sebagaimana dituturkan pecinta Al-Buthi, di samping mampu membedah logika, kata-kata Al-Buthi juga sangat menyentuh, sehingga mampu membuat pembacanya berurai air mata.
Pembela Madzhab yang Empat
Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi mengasuh halaqah pengajian di masjid Damaskus dan beberapa masjid lainnya di seputar kota Damaskus, yang diasuhnya hampir tiap hari. Majelis yang diampunya selalu dihadiri ribuan jama’ah, laki-laki dan perempuan.
Selain mengajar di berbagai halaqah, ia juga aktif menulis di berbagai media massa tentang tema-tema keislaman dan hukum yang pelik, di antaranya berbagai pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh para pembaca. Ia juga mengasuh acara-acara dialog keislaman di beberapa stasiun televisi dan radio di Timur Tengah, seperti di Iqra‘ Channel dan Ar-Risalah Channel.
Dalam hal pemikiran, Al-Buthi dianggap sebagai tokoh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang gencar membela konsep-konsep Madzhab yang Empat dan aqidah Asy’ariyah, Maturidiyah, Al-Ghazali, dan lain-lain, dari rongrongan pemikiran dan pengkafiran sebahagian golongan yang menganggap hanya merekalah yang benar dalam hal agama. Berbekal pengetahuannya yang amat mendalam dan diakui berbagai pihak, ia meredam berbagai permasalahan yang timbul dengan fatwa-fatwanya yang bertabur hujjah dari sumber yang sama yang dijadikan dalil para lawan debatnya. Ujaran-ujaran Al-Buthi juga menyejukkan bagi yang benar-benar ingin memahami pemikirannya.
Al-Buthi bukan hanya seorang yang pandai di bidang syari’ah dan bahasa, ia juga dikenal sebagai ulama Sunni yang multidisipliner. Ia dikenal alim dalam ilmu filsafat dan aqidah, hafizh Qur’an, menguasai ulumul Qur’an dan ulumul hadits dengan cermat. Sewaktu-waktu ia melakukan kritik atas pemikiran filsafat materialisme Barat, di sisi lain ia juga melakukan pembelaan atas ajaran dan pemikiran madzhab fiqih dan aqidah Ahlussunnah, terutama terhadap tudingan kelompok yang menisbahkan dirinya sebagai golongan Salafiyah dan Wahabiyah.
Dalam hal yang disebut terakhir, ia menulis dua karya yang meng-counter berbagai tudingan dan klaim-klaim mereka, yakni kitab berjudul Al-Lamadzhabiyyah Akbar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’ah al-Islamiyyah dan kitab As-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah wa Laysat Madzhab Islamiyy. Begitu pula hubungannya dengan gerakan-gerakan propaganda keislaman seperti Ikhwanul Muslimin Suriah yang tampak kurang baik, tentunya dengan berbagai perbedaan pandangan, yang menjadikan ketidaksetujuannya itu tampak dalam sebuah karya yang berjudul Al-Jihad fi al-Islam, yang terbit pada tahun 1993.
Tawassuth
Di era 1990-an, Al-Buthi telah menampakkan intelektualitasnya dengan menggunakan sarana media informasi, seperti televisi dan radio. Ini demi mengusung pemikiran-pemikirannya yang tawassuth (menengah) di tengah gerakan-gerakan fundamentalisme Islam yang bermunculan.
Sayangnya, kedekatannya dengan penguasa politik Suriah saat itu, Hafizh Al-Asad, menjadi bumbu tak sedap di kalangan pemerhati politik. Namun kedekatannya itu juga menjadi siasat politik Suriah dalam menyokong perjuangan Hamas (Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah) dalam menghadapi aneksasi Israel, sekalipun beberapa pandangannya bertolak belakang dengan gerakan-gerakan semacam itu.
Kini, di usia yang semakin senja, Syaikh Al-Buthi masih tetap menulis, baik lewat website yang diasuhnya maupun beberapa media massa dan elektronik lainnya. Betapa besar harapan umat ini, khususnya kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, menanti karya-karyanya yang lain terlahir, untuk memenuhi dahaga ilmu yang tak pernah habis-habisnya. Di mata beberapa ulama dan ustadz-ustadz yang pernah menimba ilmu di Suriah, saat ini Al Buthi lebih dikenal sebagai tokoh ulama sufi dibanding tokoh pergerakan. Buku-buku karya Al Buthi banyak beredar di Indonesia dan karyanya banyak menjadi rujukan. Salah satu bukunya berisi kritik terhadap gerakan kelompok Salafy Wahabi berjudul Salafiyyah; Marhalah Zamaniyyah Mubarakah La Madzhab Islami.
Firasat Beliau
Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun....Kata Al-Habib Ali-Al-Jufri "Aku telah menelefonnya dua minggu lepas dan beliau (Dr Ramadhan Al-Buti) berkata pada akhir kalamnya:"Tidak tinggal lagi umur bagi aku melainkan beberapa hari yang boleh dikira. Sesungguhnya aku sedang mencium bau syurga dari belakangnya. Jangan lupa wahai saudaraku untuk mendoakan aku"
Pada beberapa hari sebelum kewafatannya, beliau berkata "Setiap apa yang berlaku padaku atau yang menuduhku daripada ijtihadku, maka aku harap ia tidak terlepas dari ganjaran ijtihad" (yang betul mendapat dua ganjaran dan yang tidak mendapat satu ganjaran). Semoga Allah senantiasa memberikan ampunan dan Rahmat yang agung kepada beliau, amiin.
INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI`UN, Kita telah kehilangan ulama terbaik kita masa kini AL'ALIM AL`ALLAMAH ASY SYAIKH SAID RAMADLAN AL BUTHI rahimahullahuta'ala, Beliau wafat diserang bom bunuh diri tepat saat beliau mengisi Ta'lim di Masjid Jami' Al Iman di Kota Damaskus, Suriah, ba`da maghrib Kamis, 21 Maret 2013. Beliau Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi adalah salah seorang tokoh ulama dunia yang menjadi sumber rujukan masalah-masalah keagamaan.
Ketika kritikan terhadap tradisi Maulid dan dzikir berjama’ah, misalnya, dilontarkan para pengklaim “muslim sejati”, Al-Buthi hadir menjawab kritikan itu. Tak tanggung-tanggung, dalil yang digunakan sama persis dengan dalil yang diambil para pengkritik itu.
Pada sisi lainnya, ia juga mengkritik dengan tajam pola pikir Barat. Ujaran-ujarannya membuat stereotip yang negatif tentang Islam dan ketimuran pun luruh.
Siapakah tokoh ulama kontemporer yang begitu alim ini? Sa’id Ramadhan Al-Buthi lahir pada tahun 1929 di Desa Jilka, Pulau Buthan (Ibn Umar), sebuah kampung yang terletak di bagian utara perbatasan antara Turki dan Irak. Ia berasal dari suku Kurdi, yang hidup dalam berbagai tekanan kekuasaan Arab Irak selama berabad-abad.
Bersama ayahnya, Syaikh Mula Ramadhan, dan anggota keluarganya yang lain, Al-Buthi hijrah ke Damaskus pada saat umurnya baru empat tahun. Ayahnya adalah sosok yang amat dikaguminya.
Pendidikan sang ayah sangat membekas dalam sisi kehidupan intelektualnya. Ayahnya memang dikenal sebagai seorang ulama besar di Damaskus. Bukan saja pandai mengajar murid-murid dan masyarakat di kota Damaskus, Syaikh Mula juga sosok ayah yang penuh perhatian dan tanggung jawab bagi pendidikan anak-anaknya.
Dalam karyanya yang mengupas biografi kehidupan sang ayah, Al-Fiqh al-Kamilah li Hayah asy-Syaikh Mula Al-Buthi Min Wiladatihi Ila Wafatihi, Syaikh Al-Buthi mengurai awal perkembangan Syaikh Mula dari masa kanak-kanak hingga masa remaja saat turut berperang dalam Perang Dunia Pertama. Kemudian menceritakan pernikahan ayahnya, berangkat haji, hingga alasan berhijrah ke Damaskus, yang di kemudian hari menjadi awal kehidupan baru bagi keluarga asal Kurdi itu.
Masih dalam karyanya ini, Al-Buthi menceritakan kesibukan ayahnya dalam belajar dan mengajar, menjadi imam dan berdakwah, pola pendidikan yang diterapkannya bagi anak-anaknya, ibadah dan kezuhudannya, kecintaannya kepada orang-orang shalih yang masih hidup maupun yang telah wafat, hubungan baik ayahnya dengan para ulama Damaskus di masa itu, seperti Syaikh Abu Al-Khayr Al-Madani, Syaikh Badruddin Al-Hasani, Syaikh Ibrahim Al-Ghalayayni, Syaikh Hasan Jabnakah, dan lainnya, yang menjadi mata rantai tabarruk bagi Al-Buthi. Begitu besarnya atsar (pengaruh) dan kecintaan sang ayah, hingga Al-Buthi begitu terpacu untuk menulis karyanya tersebut.
Dari Damaskus ke Kairo
Sa’id Ramadhan Al-Buthi muda menyelesaikan pendidikan menengahnya di Institut At-Tawjih Al-Islami di Damaskus. Kemudian pada tahun 1953 ia meninggalkan Damaskus untuk menuju Mesir demi melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar. Dalam tempo dua tahun, ia berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana S1 di bidang syari’ah. Pada tahun berikutnya di universitas yang sama, ia mengambil kuliah di Fakultas Bahasa Arab hingga lulus dalam waktu yang cukup singkat dengan sangat memuaskan dan mendapat izin mengajar bahasa Arab.
Kemahiran Al-Buthi dalam bahasa Arab tak diragukan. Sekalipun bahasa ini adalah bahasa ibu orang-orang Arab seperti dirinya, sebagaimana bahasa-bahasa terkemuka dalam khazanah peradaban dunia, ada orang-orang yang memang dikenal kepakarannya dalam bidang bahasa, dan Al-Buthi adalah salah satunya yang menguasai bahasa ibunya tersebut. Di samping itu, kecenderungan kepada bahasa dan budaya membuatnya senang untuk menekuni bahasa selain bahasa Arab, seperti bahasa Turki, Kurdi, bahkan bahasa Inggris.
Selulusnya dari Al-Azhar, Al-Buthi kembali ke Damaskus. Ia pun diminta untuk membantu mengajar di Fakultas Syari’ah pada tahun 1960, hingga berturut-turut menduduki jabatan struktural, dimulai dari pengajar tetap, menjadi wakil dekan, hingga menjadi dekan di fakultas tersebut pada tahun 1960.
Lantaran keluasan pengetahuannya, ia dipercaya untuk memimpin sebuah lembaga penelitian theologi dan agama-agama di universitas bergengsi di Timur Tengah itu.
Tak lama kemudian, Al-Buthi diutus pimpinan rektorat kampusnya untuk melanjutkan program doktoral bidang ushul syari’ah di Al-Azhar hingga lulus dan berhak mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu-ilmu syari’ah.
Aktivitasnya sangat padat. Ia aktif mengikuti berbagai seminar dan konferensi tingkat dunia di berbagai negara di Timur Tengah, Amerika, maupun Eropa. Hingga saat ini ia masih menjabat salah seorang anggota di lembaga penelitian kebudayaan Islam Kerajaan Yordania, anggota Majelis Tinggi Penasihat Yayasan Thabah Abu Dhabi, dan anggota di Majelis Tinggi Senat di Universitas Oxford Inggris.
Penulis yang Sangat Produktif
Al-Buthi adalah seorang penulis yang sangat produktif. Karyanya mencapai lebih dari 60 buah, meliputi bidang syari’ah, sastra, filsafat, sosial, masalah-masalah kebudayaan, dan lain-lain. Beberapa karyanya yang dapat disebutkan di sini, antara lain, Al-Mar‘ah Bayn Thughyan an-Nizham al-Gharbiyy wa Latha‘if at-Tasyri’ ar-Rabbaniyy, Al-Islam wa al-‘Ashr, Awrubah min at-Tiqniyyah ila ar-Ruhaniyyah: Musykilah al-Jisr al-Maqthu’, Barnamij Dirasah Qur‘aniyyah, Syakhshiyyat Istawqafatni, Syarh wa Tahlil Al-Hikam Al-‘Atha‘iyah, Kubra al-Yaqiniyyat al-Kauniyyah, Hadzihi Musykilatuhum, Wa Hadzihi Musykilatuna, Kalimat fi Munasabat, Musyawarat Ijtima’iyyah min Hishad al-Internet, Ma’a an-Nas Musyawarat wa Fatawa, Manhaj al-Hadharah al-Insaniyyah fi Al-Qur‘an, Hadza Ma Qultuhu Amama Ba’dh ar-Ru‘asa‘ wa al-Muluk, Yughalithunaka Idz Yaqulun, Min al-Fikr wa al-Qalb, La Ya‘tihi al-Bathil, Fiqh as-Sirah, Al-Hubb fi al-Qur‘an wa Dawr al-Hubb fi Hayah al-Insan, Al-Islam Maladz Kull al-Mujtama’at al-Insaniyyah, Azh-Zhullamiyyun wa an-Nuraniyyun.
Gaya bahasa Al-Buthi istimewa dan menarik. Tulisannya proporsional dengan tema-tema yang diusungnya. Tulisannya tidak melenceng dan keluar dari akar permasalahan dan kaya akan sumber-sumber rujukan, terutama dari sumber-sumber rujukan yang juga diambil lawan-lawan debatnya.
Akan tetapi bahasanya terkadang tidak bisa dipahami dengan mudah oleh kalangan bukan pelajar, disebabkan unsur falsafah dan manthiq, yang memang keahliannya. Oleh karena itu, majelis dan halaqah yang diasuhnya di berbagai tempat di keramaian kota Damaskus menjadi sarana untuk memahami karya-karyanya.
Walau demikian, sebagaimana dituturkan pecinta Al-Buthi, di samping mampu membedah logika, kata-kata Al-Buthi juga sangat menyentuh, sehingga mampu membuat pembacanya berurai air mata.
Pembela Madzhab yang Empat
Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi mengasuh halaqah pengajian di masjid Damaskus dan beberapa masjid lainnya di seputar kota Damaskus, yang diasuhnya hampir tiap hari. Majelis yang diampunya selalu dihadiri ribuan jama’ah, laki-laki dan perempuan.
Selain mengajar di berbagai halaqah, ia juga aktif menulis di berbagai media massa tentang tema-tema keislaman dan hukum yang pelik, di antaranya berbagai pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh para pembaca. Ia juga mengasuh acara-acara dialog keislaman di beberapa stasiun televisi dan radio di Timur Tengah, seperti di Iqra‘ Channel dan Ar-Risalah Channel.
Dalam hal pemikiran, Al-Buthi dianggap sebagai tokoh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang gencar membela konsep-konsep Madzhab yang Empat dan aqidah Asy’ariyah, Maturidiyah, Al-Ghazali, dan lain-lain, dari rongrongan pemikiran dan pengkafiran sebahagian golongan yang menganggap hanya merekalah yang benar dalam hal agama. Berbekal pengetahuannya yang amat mendalam dan diakui berbagai pihak, ia meredam berbagai permasalahan yang timbul dengan fatwa-fatwanya yang bertabur hujjah dari sumber yang sama yang dijadikan dalil para lawan debatnya. Ujaran-ujaran Al-Buthi juga menyejukkan bagi yang benar-benar ingin memahami pemikirannya.
Al-Buthi bukan hanya seorang yang pandai di bidang syari’ah dan bahasa, ia juga dikenal sebagai ulama Sunni yang multidisipliner. Ia dikenal alim dalam ilmu filsafat dan aqidah, hafizh Qur’an, menguasai ulumul Qur’an dan ulumul hadits dengan cermat. Sewaktu-waktu ia melakukan kritik atas pemikiran filsafat materialisme Barat, di sisi lain ia juga melakukan pembelaan atas ajaran dan pemikiran madzhab fiqih dan aqidah Ahlussunnah, terutama terhadap tudingan kelompok yang menisbahkan dirinya sebagai golongan Salafiyah dan Wahabiyah.
Dalam hal yang disebut terakhir, ia menulis dua karya yang meng-counter berbagai tudingan dan klaim-klaim mereka, yakni kitab berjudul Al-Lamadzhabiyyah Akbar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’ah al-Islamiyyah dan kitab As-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah wa Laysat Madzhab Islamiyy. Begitu pula hubungannya dengan gerakan-gerakan propaganda keislaman seperti Ikhwanul Muslimin Suriah yang tampak kurang baik, tentunya dengan berbagai perbedaan pandangan, yang menjadikan ketidaksetujuannya itu tampak dalam sebuah karya yang berjudul Al-Jihad fi al-Islam, yang terbit pada tahun 1993.
Tawassuth
Di era 1990-an, Al-Buthi telah menampakkan intelektualitasnya dengan menggunakan sarana media informasi, seperti televisi dan radio. Ini demi mengusung pemikiran-pemikirannya yang tawassuth (menengah) di tengah gerakan-gerakan fundamentalisme Islam yang bermunculan.
Sayangnya, kedekatannya dengan penguasa politik Suriah saat itu, Hafizh Al-Asad, menjadi bumbu tak sedap di kalangan pemerhati politik. Namun kedekatannya itu juga menjadi siasat politik Suriah dalam menyokong perjuangan Hamas (Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah) dalam menghadapi aneksasi Israel, sekalipun beberapa pandangannya bertolak belakang dengan gerakan-gerakan semacam itu.
Kini, di usia yang semakin senja, Syaikh Al-Buthi masih tetap menulis, baik lewat website yang diasuhnya maupun beberapa media massa dan elektronik lainnya. Betapa besar harapan umat ini, khususnya kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, menanti karya-karyanya yang lain terlahir, untuk memenuhi dahaga ilmu yang tak pernah habis-habisnya. Di mata beberapa ulama dan ustadz-ustadz yang pernah menimba ilmu di Suriah, saat ini Al Buthi lebih dikenal sebagai tokoh ulama sufi dibanding tokoh pergerakan. Buku-buku karya Al Buthi banyak beredar di Indonesia dan karyanya banyak menjadi rujukan. Salah satu bukunya berisi kritik terhadap gerakan kelompok Salafy Wahabi berjudul Salafiyyah; Marhalah Zamaniyyah Mubarakah La Madzhab Islami.
Firasat Beliau
Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun....Kata Al-Habib Ali-Al-Jufri "Aku telah menelefonnya dua minggu lepas dan beliau (Dr Ramadhan Al-Buti) berkata pada akhir kalamnya:"Tidak tinggal lagi umur bagi aku melainkan beberapa hari yang boleh dikira. Sesungguhnya aku sedang mencium bau syurga dari belakangnya. Jangan lupa wahai saudaraku untuk mendoakan aku"
Pada beberapa hari sebelum kewafatannya, beliau berkata "Setiap apa yang berlaku padaku atau yang menuduhku daripada ijtihadku, maka aku harap ia tidak terlepas dari ganjaran ijtihad" (yang betul mendapat dua ganjaran dan yang tidak mendapat satu ganjaran). Semoga Allah senantiasa memberikan ampunan dan Rahmat yang agung kepada beliau, amiin.
Wednesday, November 25, 2015
Lirik La ilaha illalloh "mishari rasyid alafasy"
لا إله إلا لله
لا إله إلا لله
لا إله إلا لله مالنا رب سواه
لا إله إلا لله
لا إله إلا لله
لا إله إلا لله مالنا رب سواه
ربنا رب القلوب وهو علام الغيوب
في الشروق وفي الغروب نوره يهدي العصاة
ربنا رب القلوب وهو علام الغيوب
في الشروق وفي الغروب نوره يهدي العصاة
ربنا الهادي الودود
فضله ملء الوجود
عفوه خير وجود
فأرتجي دوما رضاه
فأرتجي دوما رضاه
لا إله إلا لله
لا إله إلا لله
لا إله إلا لله مالنا رب سواه
ربنا الحي الرقيب
يقبل العبد المنيب
فهو رحمن مجيب للدعاء ومن دعاه
ربنا الحي الرقيب
يقبل العبد المنيب
فهو رحمن مجيب للدعاء ومن دعاه
ربنا الهادي الودود
فضله ملء الوجود
عفوه خير وجود
فأرتجي دوما رضاه
ربنا الهادي الودود
فضله ملء الوجود
عفوه خير وجود
فأرتجي دوما رضاه
فأرتجي دوما رضاه
لا إله إلا لله
لا إله إلا لله
لا إله إلا لله مالنا رب سواه
Versi translate :
لا الـه الا الله
Tiada Tuhan Selain Allah
(By: Syeikh Mishary Rasyid)
لا الـه الا الله
Tiada Tuhan Selain Allah (3x)
مالنـا رب ســواه
(MA LANA RABBON SIWAH)
Kami tidak punya Tuhan kecuali Dia
ربنــــــــا رب القلوب ..وهو علام الغيوب
(RABBUNA RABBUL QULUUBI WA HUWA ‘ALLAMAL GHUYUUB)
Wahai Tuhan kami, Tuhan yang mengetahui apa yang ada dalam hati
في الشروق وفي الغروب …نوره يهدي العصاه
(FI SHURUUQI WA FIL GURUUBI NUURUHU YAHDIL ‘USSHAH)
Dari fajar sampai matahari terbenam, cahaya-NYA membimbing orang-orang berdosa
ربنا الهادي الودود
(RABBUNA AL-HADI AL WADUD)
Tuhan kami, Yang Maha Pemberi Petunjuk dan Maha Menyayang
فضله ملىء الوجود
(FADHLUHU MIL’UL WUJUUD)
Keberkahannya meliputi segala sesuatu
عفوه خير وجود
“afuhu khoirun wa juud
Ampunan-NYA baik dan murah hati
فأرتجي دوما رضاه
فأرتجي دوما رضاه
(FUR TAZII DAWMAN RIDHAAH’)
Maka mintalah selalu ridhonya
ربنـــــا الحي الرقيــــــب
(ROBBUNA AL HAYYU AR ROQIIBU)
Tuhan kami yang Maha Hidup Maha Mengawasi
يقبل العبــــد المنــــيب
(YAQBAL-UL ‘ABD AL MUNIIB)
Terimalah taubat hambamu
فهــو رحمـان مجيــب
(FA HUWA ROHMANUN MUJIIBUN)
Sayangi dan kabulkanlah
للـدعاء ومن دعاه
(LI AD-DU’A’I WA MAN DA ‘AAH)
Bagi yang berdoa dan meminta
Sunday, March 30, 2014
"Sholawat Nariyah"
Sudah
bukan rahasia lagi kalau di tengah-tengah kaum muslimin, banyak
tersebar berbagai jenis shalawat yang sama sekali tidak berdasarkan
dalil dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Shalawat-shalawat itu biasanya dibuat oleh pemimpin tarekat
tertentu yang dianggap baik oleh sebagian umat Islam kemudian disebarkan
hingga diamalkan secara turun temurun. Padahal jika shalawat-shalawat
semacam itu diperhatikan secara cermat, akan nampak berbagai
penyimpangan berupa kesyirikan, bid’ah, ghuluw terhadap Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, dan sebagainya.
Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum muslimin. Bahkan ada yang menuliskan lafadznya di sebagian dinding masjid. Mereka berkeyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut nash shalawatnya:
اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تُنْحَلُ بِهَ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
“Ya Allah, berikanlah shalawat yang sempurna dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Muhammad yang dengannya terlepas dari ikatan (kesusahan) dan dibebaskan dari kesulitan. Dan dengannya pula ditunaikan hajat dan diperoleh segala keinginan dan kematian yang baik, dan memberi siraman (kebahagiaan) kepada orang yang sedih dengan wajahnya yang mulia, dan kepada keluarganya, para shahabatnya, dengan seluruh ilmu yang engkau miliki.”
Ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan kaitannya dengan shalawat ini:
1- Sesungguhnya aqidah tauhid yang diseru oleh Al Qur’anul Karim dan yang diajarkan kepada kita dari Rasulullah shallallahu laiahi wasallam, mengharuskan setiap muslim untuk berkeyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya yang melepaskan ikatan (kesusahan), membebaskan dari kesulitan, yang menunaikan hajat, dan memberikan manusia apa yang mereka minta. Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim berdo’a kepada selain Allah untuk menghilangkan kesedihannya atau menyembuhkan penyakitnya, walaupun yang diminta itu seorang malaikat yang dekat ataukah nabi yang diutus. Telah disebutkan dalam berbagai ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan haramnya meminta pertolongan, berdo’a, dan semacamnya dari berbagai jenis ibadah kepada selain Allah Azza wa Jalla.
Firman Allah:
قُلِ ادْعُوا الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُوْنِهِ فَلاَ يَمْلِكُوْنَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلاَ تَحِْويْلاً
“Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah.
Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya.” (Al-Isra: 56)
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan segolongan kaum yang berdo’a kepada Al Masih ‘Isa, atau malaikat, ataukah sosok-sosok yang shalih dari kalangan jin. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/47-48)
2- Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam rela dikatakan bahwa dirinya mampu melepaskan ikatan (kesulitan), menghilangkan kesusahan, dsb. sedangkan Al Qur’an menyuruh beliau untuk berkata:
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (Al-A’raf: 188)
Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu mengatakan, “Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka beliau bersabda:
أَجَعَلْتَنِيْ للهِ نِدًّا؟ قُلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ
“Apakah engkau hendak menjadikan bagi Allah sekutu? Ucapkanlah: Berdasarkan kehendak Allah semata.” (HR. An-Nasai dengan sanad yang hasan)
(Lihat Minhaj Al-Firqatin Najiyah 227-228, Muhammad Jamil Zainu)
B. Shalawat al Fatih (Pembuka)
Lafadznya adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا أَغْلَقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ, نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ الْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمَسْتَقِيْمِ وَعَلىَ آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارُهُ عَظِيْمٌ
“Ya Allah berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad yang membuka apa yang tertutup dan yang menutupi apa-apa yang terdahulu, penolong kebenaran dengan kebenaran yang memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus. Dan kepada keluarganya, sebenar-benar pengagungan padanya dan kedudukan yang agung.”
Berkata At-Tijani tentang shalawat ini –dan dia pendusta dengan perkataannya-:
“….Kemudian (Nabi shallallahu alaihi wasallam) memerintah aku untuk kembali kepada shalawat Al-Fatih ini. Maka ketika beliau memerintahkan aku dengan hal tersebut, akupun bertanya kepadanya tentang keutamaannya. Maka beliau mengabariku pertama kalinya bahwa satu kali membacanya menyamai membaca Al Qur’an enam kali. Kemudian beliau mengabarkan kepadaku untuk kedua kalinya bahwa satu kali membacanya menyamai setiap tasbih yang terdapat di alam ini dari setiap dzikir, dari setiap do’a yang kecil maupun besar, dan dari Al Qur’an 6.000 kali, karena ini termasuk dzikir.”
Dan ini merupakan kekafiran yang nyata karena mengganggap perkataan manusia lebih afdhal daripada firman Allah Azza Wajalla. Sungguh merupakan suatu kebodohan apabila seorang yang berakal apalagi dia seorang muslim berkeyakinan seperti perkataan ahli bid’ah yang sangat bodoh ini. (Minhaj Al-Firqah An-Najiyah 225 dan Mahabbatur Rasul 285, Abdur Rauf Muhammad Utsman)
Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.”
(HR. Bukhari dan Tirmidzi dari Ali bin Abi Thalib. Dan datang dari hadits’Utsman bin ‘Affan riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Dan juga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ : { ألم } حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan menjadi sepuluh kali semisal (kebaikan) itu. Aku tidak mengatakan: alif lam mim itu satu huruf, namun alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim itu satu huruf.” (HR.Tirmidzi dan yang lainnya dari Abdullah bin Mas’ud dan dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullah)
C. Shalawat yang disebutkan salah seorang sufi dari Libanon dalam kitabnya yang membahas tentang keutamaan shalawat, lafadznya sebagai berikut:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ حَتَّى تَجْعَلَ مِنْهُ اْلأَحَدِيَّةَ الْقَيُّوْمِيَّةَ
“Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad sehingga engkau menjadikan darinya keesaan dan qoyyumiyyah (maha berdiri sendiri dan yang mengurusi makhluknya).”
Padahal sifat Al-Ahadiyyah dan Al-Qayyumiyyah, keduanya termasuk sifat-sifat Allah Azza wajalla. Maka, bagaimana mungkin kedua sifat Allah ini diberikan kepada salah seorang dari makhluk-Nya padahal Allah
Ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
D. Shalawat Sa’adah (Kebahagiaan)
Lafadznya sebagai berikut:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا فِي عِلْمِ اللهِ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِ مُلْكِ اللهِ
“Ya Allah, berikanlah shalawat kepada baginda kami Muhammad sejumlah apa yang ada dalam ilmu Allah, shalawat yang kekal seperti kekalnya kerajaan Allah.”
Berkata An-Nabhani As-Sufi setelah menukilkannya dari Asy-Syaikh Ahmad Dahlan: ”Bahwa pahalanya seperti 600.000 kali shalat. Dan siapa yang rutin membacanya setiap hari Jum’at 1.000 kali, maka dia termasuk orang yang berbahagia dunia akhirat.” (Lihat Mahabbatur Rasul 287-288)
Cukuplah keutamaan palsu yang disebutkannya, yang menunjukkan kedustaan dan kebatilan shalawat ini.
E. Shalawat Al-In’am
Lafadznya sebagai berikut:
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ عَدَدَ إِنْعَامِ اللهِ وَإِفْضَالِهِ
“Ya Allah berikanlah shalawat, salam dan berkah kepada baginda kami Muhammad dan kepada keluarganya, sejumlah kenikmatan Allah dan keutamaan-Nya.”
Berkata An-Nabhani menukil dari Syaikh Ahmad Ash-Shawi:
“Ini adalah shalawat Al-In’am. Dan ini termasuk pintu-pintu kenikmatan dunia dan akhirat, dan pahalanya tidak terhitung.” (Mahabbatur Rasul 288)
F. Shalawat Badar
Lafadz shalawat ini sebagai berikut:
“Shalatullah salamullah ‘ala thoha rosulillah
shalatullah salamullah ‘ala yaasiin habibillah
tawasalnaa bibismillah wa bil hadi rosulillah
wa kulli majahid fillah
bi ahlil badri ya Allah”
Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Thaha Rasulullah
Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Yasin Habibillah
Kami bertawassul dengan nama Allah dan dengan pemberi petunjuk, Rasulullah
Dan dengan seluruh orang yang berjihad di jalan Allah, serta dengan ahli Badr, ya Allah
Dalam ucapan shalawat ini terkandung beberapa hal:
1. Penyebutan Nabi dengan habibillah
2. Bertawassul dengan Nabi
3. Bertawassul dengan para mujahidin dan ahli Badr
Point pertama telah diterangkan kesalahannya secara jelas pada rubrik Tafsir.
Pada point kedua, tidak terdapat satu dalilpun yang shahih yang membolehkannya. Allah Idan Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan. Demikian pula para shahabat (tidak pernah mengerjakan). Seandainya disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkannya dan para shahabat melakukannya. Adapun hadits: “Bertawassullah kalian dengan kedudukanku karena sesungguhnya kedudukan ini besar di hadapan Allah”, maka hadits ini termasuk hadits maudhu’ (palsu) sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaikh Al-Albani.
Adapun point ketiga, tentunya lebih tidak boleh lagi karena bertawassul dengan Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam saja tidak diperbolehkan. Yang dibolehkan adalah bertawassul dengan nama Allah di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَ للهِ الأَسْمآءُ الْحُسْنَ فَادْعُوْهُ بِهاَ
“Dan hanya milik Allah-lah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu.” (Al-A’raf: 180)
Demikian pula di antara doa Nabi: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki yang Engkau namai diri-Mu dengannya. Atau Engkau ajarkan kepada salah seorang hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau simpan di sisi-Mu dalam ilmu yang ghaib.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan lainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 199)
Bertawassul dengan nama Allah Ta’ala seperti ini merupakan salah satu dari bentuk tawassul yang diperbolehkan. Tawassul lain yang juga diperbolehkan adalah dengan amal shalih dan dengan doa orang shalih yang masih hidup (yakni meminta orang shalih agar mendoakannya). Selain itu yang tidak berdasarkan dalil, termasuk tawassul terlarang.
Jenis-jenis shalawat di atas banyak dijumpai di kalangan sufiyah. Bahkan dijadikan sebagai materi yang dilombakan di antara para tarekat sufi. Karena setiap tarekat mengklaim bahwa mereka memiliki do’a, dzikir, dan shalawat-shalawat yang menurut mereka mempunyai sekian pahala. Atau mempunyai keutamaan bagi yang membacanya yang akan menjadikan mereka dengan cepat kepada derajat para wali yang shaleh. Atau menyatakan bahwa termasuk keutamaan wirid ini karena syaikh tarekatnya telah mengambilnya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara langsung dalam keadaan sadar atau mimpi. Di mana, katanya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjanjikan bagi yang membacanya kedekatan dari beliau, masuk jannah (surga) dan yang lainnya dari sekian propaganda yang tidak bernilai sedikitpun dalam timbangan syariat. Sebab, syariat ini tidaklah diambil dari mimpi-mimpi. Dan karena Rasul tidak memerintahkan kita dengan perkara-perkara tersebut sewaktu beliau masih hidup.
Jika sekiranya ada kebaikan untuk kita, niscaya beliau telah menganjurkannya kepada kita. Apalagi apabila model shalawat tersebut sangat bertentangan dengan apa yang beliau bawa, yakni menyimpang dari agama dan sunnahnya. Dan yang semakin menunjukkan kebatilannya, dengan adanya wirid-wirid bid’ah ini menyebabkan terhalangnya mayoritas kaum muslimin untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah yang justru disyari’atkan yang telah Allah jadikan sebagai jalan mendekatkan diri kepada-Nya dan memperoleh keridhaannya.
Berapa banyak orang yang berpaling dari Al Qur’an dan mentadabburinya disebabkan tenggelam dan ‘asyik’ dengan wirid bid’ah ini? Dan berapa banyak dari mereka yang sudah tidak peduli lagi untuk menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena tergiur dengan pahala ‘instant’ yang berlipat ganda. Berapa banyak yang lebih mengutamakan majelis-majelis dzikir bid’ah semacam buatan Arifin Ilham daripada halaqah yang di dalamnya membahas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam? Laa haula walaa quwwata illaa billah
Raja Arab yang dulu.. "Malik Faisal"
Faisal bin 'Abdul 'Aziz bin 'Abdurrahman as-Saud (bahasa Arab: فيصل بن عبدالعزيز آل سعود), dikenal dengan sebutan Malik Faisal (Raja Faisal), dan selaku penasehat pada masa jabatannya adalah Mufti pertama Arab Saudi, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh. Faisal lahir di Riyadh pada tahun 1906 dan merupakan anak keempat Raja 'Abdul 'Aziz bin 'Abdurrahman as-Saud, Raja pertama dari kalangan Bani Suud yang memproklamirkan berdirinya Negara Monarki Arab Saudi. Ia memiliki darah keturunan Bani Tamim dari pihak ayah maupun ibunya, dan ia pun juga adalah seorang keturunan Suku Quraisy. Wafat pada tahun 1975.
Raja Faishal merupakan keturunan langsung dari dua perintis kerajaan Arab Saudi yakni Raja Saud (dari pihak ayahnya) dan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab (melalui ibunya). Ia lahir pada tahun pada tahun 1906. Di usia yang muda beliau telah menduduki berbagai posisi penting, bahkan beliau juga tercatat sebagai salah satu pendiri PBB dan OKI. Pada tahun 1964 beliau diangkat menjadi Raja Saudi Arabia menggantikan kakaknya, Saud bin Abdul Aziz Al Saud, yang gagal mengatasi krisis yang terjadi di semenanjung Arab.
Riwayat Hidup
Dalam didikan keluarga dan ulama-ulama disekitarnya, Pangeran Faisal pun tumbuh sebagai anak yang baik dalam pendidikan kerohaniannya, bahkan ia sudah mampu menghafal Al-Qur'an dalam usia yang masih sangat muda. Dimasa remajanya, tepatnya diusia 16 tahun, Pangeran Faisal diangkat menjadi panglima perang dan diberi kepercayaan memimpin sebuah ekspedisi untuk memadamkan pemberontakan sebuah suku di wilayah Asir, Hijaz bagian selatan. Pengalaman militernya kembali digembleng diusia 19 tahun, ketika diberi kepercayaan mengomandani sebuah pasukan untuk merebut Jeddah dari suku Hashemit yang berhaluan Syi'ah Zaidiyah yang seringkali membuat makar melawan Pemerintah di Hijaz. Pangeran Faisal mencapai prestasi puncaknya dalam bidang militer pada tahun 1934, setelah beliau berhasil merebut pelabuhan Hoderida dalam waktu yang relatif singkat dari kekuasaan Negara Yaman Sekuler yang mana waktu itu Negara Yaman Sekuler dibantu oleh militer Kerajaan Inggris.Pada tahun 1932, Raja 'Abdul 'Aziz pun memproklamirkan berdirinya Negara Monarki Arab Saudi dengan Raja 'Abdul 'Aziz bin 'Abdurrahman sendiri sebagai Raja pertama pasca peresmiannya ini. Pada tahun ini pula, Pangeran Faisal diberi jabatan sebagai Menteri Luar Negeri Arab Saudi. Pada sebuah pidato kenegaraannya dalam sebuah konferensi KTT Perdamaian dikota Versailles, Perancis, kharismanya berhasil memukau delegasi-delegasi negara asing yang hadir dalam konferensi tersebut.
Setelah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi pemecahan Palestina untuk pendirian negara Israel, Pangeran Faisal pun mendesak Raja 'Abdul 'Aziz untuk memutuskan hubungan diplomasi dengan Amerika Serikat yang menjadi salah satu pencetus resolusi tersebut, namun permintaannya ditolak oleh Raja 'Abdul 'Aziz karena masih adanya hubungan timbal balik di antara kedua negara tersebut waktu itu. Selepas Raja 'Abdul 'Aziz tersangkut kasus skandal keuangan yang menyebabkannya turun tahta, maka Pangeran Faisal pun dilantik menjadi pemerintah sementara menggantikan ayahnya yang tengah diasingkan keluar negeri oleh keluarganya. Dan pada tanggal 2 November tahun 1964, Pangeran Faisal pun resmi dilantik sebagai Raja kedua Arab Saudi menggantikan Raja 'Abdul 'Aziz dengan gelar Malik Faisal bin 'Abdul 'Aziz as-Saud.
Di awal kepemimpinannya, Raja membuat berbagai keputusan yang mengagumkan, mulai dari mengizinkan anak-anak wanita Arab untuk bersekolah, membangun rumah untuk penduduk, menstabilkan perekonomian Arab, dan menemukan ladang minyak baru di perairan Saudi dengan jumlah cadangan minyak lebih dari 240 milyar barrel dan menjadikan Arab Saudi sebagai negara penghasil minyak terbesar di dunia. Ladang minyak yang luas itu sesuai dengan janji Allah dalam Al Qur'an, "Jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, Allah akan menurunkan berkah dari langit dan bumi."
Di era perang 6 hari Arab-Israel pada Juni 1967, Raja Faishal menjadi penyokong dana untuk membiayai segala perlengkapan perang bangsa Arab sehingga memudahkan bangsa Arab untuk memukul mundur Israel dari Palestina. Namun Israel tidak menyerah, di tahun 1973 mereka memulai kembali perang Arab-Israel dengan sokongan dari militer Amerika. Hal ini membuat Raja marah dan serta merta melakukan embargo minyak terhadap negara-negara barat. Embargo ini membuat bangsa barat kewalahan karena mereka adalah konsumen minyak bumi terbesar dalam kapasitas mereka sebagai negara industri. Hal tersebut berkembang menjadi krisis yang besar di Amerika dan negara barat lainnya. Oleh karena itu, pihak Amerika mencoba untuk berunding dengan Raja Faishal namun kemudian ditolak. Amerika kemudian mencoba membalas tindakan embargo Arab dengan melakukan embargo impor barang-barang hasil industri ke Arab Saudi. Bukannya menyerah, Raja malah mengeluarkan pernyataan yang sangat bijak dengan mengatakan,
"Kami dan leluhur kami telah mampu bertahan hidup dari kurma dan susu, dan kami akan kembali dengan cara itu lagi untuk bertahan hidup (tanpa bantuan barang-barang dari barat)."
Henry Kissinger yang menjabat Menteri Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat kemudian mencoba untuk mengunjungi Raja Faishal dan mencoba membujuknya untuk menarik
keputusannya. Dalam memoarnya, ia menjumpai sang Raja sedang murung, maka Henry Kissinger mencoba melontarkan sebuah lelucon untuk menghibur sang Raja:
"Pesawatku kehabisan minyak, berkenankah yang mulia memerintahkan orang agar mengisinya dengan minyak kembali? Dan kami siap membayarnya dengan kurs internasional."
Namun Raja tak tertawa sedikitpun, ia memandang Henry Kissinger sambil berkata:
"Dan aku hanyalah seorang lelaki tua yang mendambakan untuk dapat beribadah (sholat dan do`a) di Masjidil Aqsa (Al Aqsa)... maka maukah engkau (Amerika) mengabulkan permintaanku ini?"
Raja Faisal dikenal sebagai pemimpin yang shalih dan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya, banyak sekali program-program baru yang dicanangkannya selepas penobatannya sebagai kepala negara. Beberapa diantaranya adalah, pada tahun 1967 Raja Faisal menggalakkan program penghapusan perbudakan, program ini ia lakukan dengan membeli seluruh budak di Arab Saudi dengan kas pribadinya hingga tak tersisa satupun budak yang dimiliki seorang majikan di negara itu, bahkan ada budak yang ia beli itu memiliki harga sangat mahal (dengan nilai mata uang dimasa itu), yaitu 2.800 dolar. Kemudian ia bebaskan budak-budak yang dibelinya tersebut dan dilanjutkan dengan pemberlakuan aturan tentang pelarangan adanya perbudakan di Arab Saudi untuk selamanya.
Raja Faisal juga melakukan penyederhanaan gaya hidup keluarga kerajaan serta melakukan penghematan kas kerajaan dengan menarik 500 mobil mewah Cadillac milik istana, dana dari hasil program diatas salah satunya terealisasi pada pembangunan sumur raksasa hingga sedalam 1.200 meter sebagai tambahan sumber air rakyat untuk dialirkan pada lahan-lahan tandus disemenanjung Arab.
Pada tahun yang sama dengan pencanangan program penghapusan perbudakan, Raja Faisal menyerukan Agresi melawan Israel dalam rangka pembelaannya terhadap tanah suci Al-Quds (Yerusalem) dan menghentikan Israel dari program pemekaran wilayah negaranya atas daerah-daerah disekitarnya. Seruan ini dijawab positif oleh Mesir dan Syria yang kemudian tiga negara ini membentuk koalisi militer melawan Israel yang pada saat itu diback-up secara besar-besaran dalam modal dan persenjataan oleh sekutunya, Amerika Serikat. Pada awalnya pasukan koalisi Arab (kaum Muslimin) berada diatas angin dan menguasai pertempuran dengan mudah, setelah pasukan koalisi Arab dari negara Mesir berhasil memukul mundur pasukan Israel dari Syam dan berencana masuk ke wilayah negara Israel untuk memperkuat Al-Quds, tiba-tiba Amerika Serikat mengumumkan pernyataan ancaman terhadap Mesir tentang akan terjadinya pembantaian besar-besaran atas rakyat Mesir oleh Amerika jika Mesir nekat masuk ke wilayah Israel. Maka dalam rangka menyelamatkan negara dan rakyatnya, Gamal Abdul Nasir selaku pemimpin Mesir waktu itu pun terpaksa menarik mundur pasukannya dan mengurungkan niatnya masuk ke wilayah Israel.
Raja Faisal yang mendengar intimidasi itupun marah dan menyerukan perang secara ekonomi melawan Amerika, yaitu dengan mengembargo ekspor minyak Arab Saudi ke Amerika. Negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (N.A.T.O) yang tadinya mendukung Amerika pun berbalik diam dan meninggalkan dukungannya atas Amerika dikarenakan takut terkena embargo besar Raja Faisal tersebut. Akibat dari embargo tersebut atas Amerika Serikat adalah lumpuhnya sektor industri dan transportasi, bahkan perekonomiannya menjadi kacau hingga mengalami krisis berkepanjangan yang diperkirakan baru bisa pulih selama sepuluh tahun kedepan (sejak dimulainya embargo).
Dalam seruan khutbah Jihadnya melawan Israel, Raja Faisal berdo'a dihadapan khalayak agar Allah menetapkan kematiannya diterima Allah sebagai orang yang terbunuh dijalanNya (Syuhada). Ia juga berdo'a agar Allah bersegera mencabut nyawanya apabila ia tak mampu membebaskan tanah suci Al-Quds (Yerusalem) dari cengkeraman Israel dalam perang yang akan terjadi saat itu.[1]
Pada tanggal 25 Maret 1975, Raja Faisal wafat pada tahun itu karena dibunuh. Pembunuhnya adalah keponakannya sendiri, yaitu Faisal bin Mus'ad yang baru saja pulang dari Amerika Serikat. Mus'ad menyamar sebagai delegasi Kuwait yang ingin bertemu Raja Faisal secara mendadak. Pada saat Raja Faisal berjalan kearahnya untuk menyambut, maka Faisal bin Mus'ad pun tiba-tiba mengeluarkan sepucuk pistol dan menembakkannya ketubuh Raja Faisal sebanyak tiga kali. Dari luka tembak tersebut, Raja Faisal kehabisan darah menghembuskan nafas terakhirnya tak lama setelah itu. Dari hasil penyidikan dan interogasi yang dilakukan, Faisal bin Musaid mengaku bahwa pembunuhan itu atas dasar inisiatifnya sendiri, selain teori konspirasi yang berhembus di masyarakat, petugas pun mencurigai adanya kerusakan mental pada Faisal bin Musaid. Akhirnya tak lama setalah itu, Ibnu Mus'ad (nama panggilan Faisal bin Musaid) itupun dihukum qishos (bunuh) dihadapan khalayak.
Memerintah | 2 November 1964 – 25 Maret 1975 |
---|---|
Pendahulu | Saud |
Pengganti | Khalid |
Pasangan | Sultana bint Ahmed Al Sudairi Al Jawhara bint Saud Al Kabir Haya bint Turki Al Turki Iffat Al-Thunayan |
Subscribe to:
Posts (Atom)