Nama
lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah
As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan
meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari
merujuk kota kelahirannya itu.
Sejak kecil, Ibnu Atha’illah
dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara
bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali
Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri
tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai
Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut
sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
Ibnu Atha'illah tergolong
ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah
dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu,
dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah
kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya.
Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin
Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu
Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua
ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa
kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun.
Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme.
Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan
sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu
Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi
panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi
teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia
dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat
Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya,
Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama
menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya,
sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ia
tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh
intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu
Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok,
bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Kitab
Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat
populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini
juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.
Syekh
Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan
pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala
aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat
menempuhnya.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu
Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh
sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan
para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu
Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan
teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan
suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan
cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf
sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan
nilai tasawuf pada ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran
tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya
untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya
mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan
yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal
rahmat Illahi.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan
menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam
memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya
menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk
Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak
mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi
yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni
suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah
kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta
pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup
moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena
pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan.
Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan
memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat,
berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal
puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau
(al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci
kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum
salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak
bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari
harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai
menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih
ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika
mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang
mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan
spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi,
dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam,
tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan
diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf
memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT,
senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta
berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara
sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat
Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari
tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan
memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang
akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat
diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir,
wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Download bukunya.. klik
Friday, December 14, 2012
Hukum Seputar Sumpah (copas)
Hukum Seputar Sumpah
Allah Ta’ala berfirman:فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan pertengahan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukannya, maka hendaknya dia berpuasa selama tiga hari. Itulah kaffarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpah-sumpah kalian. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayatNya agar kalian bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah: 89)
Yang dimaksud dengan makanan pertengahan adalah makanan yang terbaik dan ada yang mengatakan yang pertengahan mutunya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَأْتِهَا وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ
“Barangsiapa yang bersumpah kemudian dia melihat selainnya lebih baik daripada apa yang dia bersumpah atasnya maka hendaklah dia melakukan hal yang lain itu dan dia membayar kafarah atas (pembatalan) sumpahnya”. (HR. Muslim no. 1649)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
وَاللَّهِ لَأَنْ يَلِجَّ أَحَدُكُمْ بِيَمِينِهِ فِي أَهْلِهِ آثَمُ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ أَنْ يُعْطِيَ كَفَّارَتَهُ الَّتِي افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْهِ
“Demi Allah, sungguh, orang yang berkeras hati untuk tetap melaksanakan sumpahnya, padahal sumpah tersebut dapat membahayakan keluarganya, maka dosanya lebih besar di sisi Allah daripada dia membayar kaffarah yang diwajibkan oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 6625 dan Muslim no. 1655)
Penjelasan ringkas:
Di antara ibadah yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya adalah bahwa ketika seorang muslim ingin menekankan suatu perkara dengan menggunakan sumpah, maka hendaknya mereka bersumpah dengan menggunakan nama-nama Allah Ta’ala. Dan syariat sumpah dengan nama Allah ini telah ditunjukkan dalam Al-Qur`an, As-Sunnah, dan juga telah disepakati oleh kaum muslimin. Di antara dalilnya adalah hadits Abdullah bin Umar secara marfu’:
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang mau bersumpah maka hendaknya dia bersumpah dengan nama Allah atau dia diam saja.” (HR. Al-Bukhari no. 2482 dan Muslim no. 3105)
Catatan:
Termasuk bersumpah dengan nama Allah adalah bersumpah dengan menggunakan sifat Allah. Karenanya dibenarkan bersumpah dengan Al-Qur`an karena Al-Qur`an adalah firman Allah dan firman Allah merupakan sifat Allah. Ini adalah pendapat sahabat Abdullah bin Mas’ud, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, Malik, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan selainnya.
Adapun bersumpah dengan mushaf, jika yang dia maksudkan adalah mushafnya (yang terdiri dari lembaran kertas dan tinta) maka tidak boleh bersumpah dengannya, karena mushaf dalam artian ini adalah makhluk. Tapi jika yang dia maksudkan adalah apa yang tertulis dalam mushaf berupa ayat-ayat Al-Qur`an, maka ini sama hukumnya bersumpah dengan Al-Qur`an. Ini adalah pendapat Qatadah, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, dan selainnya.
Hukum Sumpah
Hukum sumpah berbeda-beda disesuaikan dengan hukum masalah yang dia bersumpah untuknya. Karenanya hukum sumpah ada lima:
1. Wajib. Jika sumpahnya bertujuan untuk menyelamatkan atau menghindarkan dirinya atau muslim lainnya dari kebinasaan
2. Sunnah. Jika sumpahnya bertujuan untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai atau untuk menghilangkan kedengkian dari seseorang atau untuk menghindarkan kaum muslimin dari kejelekan.
3. Mubah. Misalnya dia bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan suatu amalan yang hukumnya mubah.
4. Makruh. Jika dia bersumpah untuk melakukan hal yang makruh atau meninggalkan amalan yang sunnah. Misalnya sumpah dalam jual beli karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah:
الْحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
“Sumpah itu memang bisa melariskan dagangan akan tetapi menghapuskan berkahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1945)
5. Haram. Bersumpah untuk suatu kedustaan atau dia berdusta dalam sumpahnya. Termasuk juga di dalamnya bersumpah dengan selain nama dan sifat Allah, karena itu adalah kesyirikan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda dalam hadits Ibnu Umar:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan.” (HR. Abu Daud no. 2829 dan At-Tirmizi no. 1455)
Termasuk di dalam kesyirikan ini adalah bersumpah dengan menggunakan nama Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Dalam hal apakah ada kaffaratnya, sumpah terbagi menjadi tiga jenis:
1. Sumpah yang tidak butuh kaffarat jika dilanggar.
Yaitu sumpah yang diucapkan secara tidak sengaja, semisal dia mengatakan: Tidak demi Allah, betul demi Allah. Termasuk juga di dalamnya orang yang bersumpah atas sesuatu yang dia kira seperti yang dia pikirkan akan tetapi ternyata tidak demikian kenyataannya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja.” (QS. Al-Maidah: 89)
2. Sumpah yang tidak bisa ditebus dengan kaffarat.
Yaitu sumpah dusta dimana dia bersumpah atas sesuatu padahal dia tahu bahwa itu adalah dusta. Misalnya dia mengatakan, “Demi Allah saya tidak melakukannya,” padahal dia telah melakukannya. Demikian pula sebaliknya. Termasuk di dalamnya bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah. Karena sumpahnya tidak syah, maka tidak ada kewajiban kaffarat atasnya. Yang ada hanyalah bertaubat dari syirik asghar yang telah diperbuatnya dan mengucapkan ‘laa ilaha illallah’. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ فَقَالَ فِي حَلِفِهِ وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى فَلْيَقُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَمَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ
“Barangsiapa yang bersumpah dan berkata dalam sumpahnya, “Demi Laata dan Uzza,” maka hendaknya dia mengatakan, “Laa Ilaaha Illallaah.” Dan barangsiapa yang berkata kepada temannya, “Ayo kita taruhan,” maka hendaknya dia bersedekah.” (HR. Al-Bukhari no. 4482)
3. Sumpah yang bisa ditebus dengan kaffarat.
Yaitu dia bersumpah dengan menggunakan nama atau sifat Allah untuk sesuatu yang akan datang tapi ternyata kenyataan yang terjadi tidak demikian. Misalnya dia mengatakan dengan jujur, “Demi Allah aku akan melakukannya,” kemudian ternyata dia tidak jadi melakukannya. Atau sebaliknya dia mengatakan, “Demi Allah aku tidak akan melakukannya,” lalu di kemudian hari dia melakukannya. Ibnu Qudamah dan Ibnu Al-Mundzir menukil kesepakatan ulama akan wajibnya membayar kaffarat atas sumpah jenis ini.
Istitsna` (pengecualian) dalam sumpah.
Yang dimaksud dengan istitsna` di sini adalah dia menambahkan kalimat ‘insya Allah’ pada sumpahnya.” Misalnya dia mengatakan, “Demi Allah aku akan melakukannya insya Allah.”
Jika dia membatalkan sumpahnya yang mengandung istitsna` maka tidak ada kaffarat atasnya, karena pada dasarnya istitsna` itu merupakan pemutus sumpahnya. Diriwayatkan dalam sebuah hadits:
من حلف وقال: إن شاء الله، فقد حنث
“Barangsiapa yang bersumpah dan dia mengatakan dalam sumpahnya, “Insya Allah,” maka dia telah memutuskan sumpahnya.”
Dalam hadits Ibnu Umar secara marfu’:
مَنْ حَلَفَ فَاسْتَثْنَى فَإِنْ شَاءَ مَضَى وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ غَيْرَ حَنِثٍ
“Barangsiapa yang bersumpah tapi dia melakukan istitsna`, maka jika dia mau maka dia boleh tetap melanjutkan sumpahnya, dan jika dia mau maka dia boleh meninggalkan sumpahnya tanpa ada dosa.” (HR. Abu Daud no. 2839 dan An-Nasai no. 3733 -dan ini adalah lafazhnya-)
Al-Qurthubi berkata, “Jika sumpah telah syah diucapkan maka dia bisa diputuskan dengan membayar kaffarat atau melakukan istitsna`.” Ini adalah mazhab para fuqaha` dan inilah pendapat yang dinyatakan kuat oleh Ibnul Araby. Hanya saja Ibnul Araby mengatakan, “Dipersyaratkan untuk keabsahan istitsna` ini adalah dia terlafazhkan dan bersambung dengan sumpahnya dalam pengucapan.”
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jika ini (istitsna`) syah, maka dipersyaratkan pada istitsna` dia harus bersambung dengan sumpahnya, tidak dipisahkan dari kalimat sumpahnya oleh ucapan lain dan tidak juga diselingi oleh diam yang lamanya memungkinkan dia berbicara saat itu. Adapun jika istitsna`nya terputus dari kalimat sumpahnya akibat dia menarik nafas, atau suaranya habis, karena dia sakit, atau ada gangguang tiba-tiba, atau karena bersin, atau sesuatu yang lain, maka semua itu tidak membuat istitsna`nya tidak syah, akan tetapi hukumnya syah. Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ats-Tsauri, Abu Ubaid, Ishaq, dan Ashhab Ar-Ra’yi.” Kemudian beliau berkata selanjutnya, “Dipersyaratkan untuk keabsahan istitsna` dia harus mengucapkannya, tidak ada manfaatnya melakukan istitsna` dengan hatinya. Ini adalah pendapat sejumlah ulama, di antaranya: Al-Hasan, An-Nakhai, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auzai, Al-Laits, Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, Abu Hanifah, Ibnul Mundzir, dan kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini.”
Mengganti sumpah dengan yang lain
Barangsiapa yang bersumpah untuk melakukan sesuatu yang haram atau yang makruh atau yang mubah, kemudian dia menilai ada amalan lain yang lebih baik darinya maka wajib atasnya untuk melakukan yang lebih baik itu dan membatalkan sumpahnya dengan membayar kaffarat. Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.
Kaffarat pembatalan sumpah
Telah dijelaskan di atas sumpah jenis bagaimana yang bisa ditebus dengan kaffarat. Adapun kaffaratnya maka sebagaimana yang tersebut dalam surah Al-Maidah di atas:
1. Kaffarat pertama berisi 3 perkara yang harus dipilih salah satunya: Memberikan makan 10 orang miskin, atau memberikan pakaian 10 orang miskin, atau membebaskan seorang budak.
2. Jika dia tidak sanggup ketiganya maka barulah dia beranjak ke kaffarat yang kedua, yaitu berpuasa selama 3 hari.
Berikut rinciannya:
a. Memberi makan 10 orang miskin.
Makanan yang diberikan sebanyak 1 sha (dua telapak tangan lelaki dewasa). Orang miskin di sini selain dari kerabat yang dia wajib memberikan nafkah kepadanya misalnya anaknya atau orang tuanya atau istrinya atau kerabat lain yang berada di bawah tanggungannya. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan selain keduanya.
Tidak boleh memberikan makan kepada satu orang sebanyak 10 kali sebagaimana tidak boleh mengganti makanan dengan uang, karena semua ini bertentangan dengan nash ayat di atas.
Apakah boleh memberikannya kepada orang miskin yang kafir? Ada silang pendapat di kalangan ulama.
b. Memberikan pakaian 10 orang miskin.
Sama seperti di atas tidak boleh memberikan 10 baju kepada satu orang miskin atau mengganti baju dengan uang. Adapun ukuran bajunya, maka ada silang pendapat di kalangan ulama. Hanya saja Ibnu Qudamah berkata, “Pakaian bagi lelaki adalah satu pakaian yang bisa menutupi seluruh tubuhnya. Adapun bagi wanita, maka ukuran minimalnya adalah pakaian yang mereka bisa pakai dalam shalat.” Wallahu a’lam
c. Membebaskan budak.
Pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran dalam hal ini adalah, dipersyaratkan budaknya harus seorang muslim. Berdasarkan hadits Muawiah bin Al-Hakam As-Sulami tentang ‘dimana Allah’, di dalamnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam membebaskan budak wanita Muawiah setelah beliau menguji keislamanannya. Maka hadits ini menunjukkan bahwa semua kaffarat dosa yang sifatnya pembebasan budak, maka dipersyaratkan haruslah budak yang muslim.
d. Berpuasa 3 hari.
Dia tidak boleh berpuasa 3 hari kecuali jika dia sudah tidak sanggup melakukan salah satu dari ketiga kaffarat di atas. Apakah dipersyaratkan dalam keabsahannya harus puasa 3 hari berturut-turut? Ada silang pendapat di kalangan ulama, hanya saja tidak diragukan bahwa mengerjakannya secara berurut jauh lebih utama.
Faidah:
1. Apakah boleh membayar kaffarat sebelum sumpah dibatalkan?
Banyak ulama yang membolehkannya, di antara mereka adalah:
Dari kalangan sahabat ada Umar, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Salman Al-Farisi, Maslamah bin Makhlad radhiallahu anhum.
Dari kalangan tabi’in: Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Rabiah bin Abdirrahman, Abdurrahman Al-Auzai, dan selainnya.
Dari kalangan imam: Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Al-Mubarak, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, dan selainnya.
2. Jika dia meninggal sebelum sempat membayar kaffarat maka diambil dari hartanya sebelum warisan dibagikan. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’i dan Abu Tsaur.
[sumber: Diterjemahkan secara ringkas dari: http://www.islamadvice.com/ibadat/ibadat1.htm#_ftn34]
Sunday, December 9, 2012
Definisi Qadha’ Dan Qadar
Definisi Qadha’ Dan Qadar Serta Kaitan Di Antara Keduanya
DEFENISI QADHA DAN QADAR SERTA KAITAN DI ANTARA KEDUANYA
Oleh : Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
PERTAMA : QADAR
Qadar, menurut bahasa yaitu: Masdar (asal kata) dari qadara-yaqdaru-qadaran, dan adakalanya huruf daal-nya disukunkan (qa-dran). [1]
Ibnu Faris berkata, “Qadara: qaaf, daal dan raa’ adalah ash-sha-hiih yang menunjukkan akhir/puncak segala sesuatu. Maka qadar adalah: akhir/puncak segala sesuatu. Dinyatakan: Qadruhu kadza, yaitu akhirnya. Demikian pula al-qadar, dan qadartusy syai’ aqdi-ruhu, dan aqduruhu dari at-taqdiir.” [2]
Qadar (yang diberi harakat pada huruf daal-nya) ialah: Qadha’ (kepastian) dan hukum, yaitu apa-apa yang telah ditentukan Allah Azza wa Jalla dari qadha’ (kepastian) dan hukum-hukum dalam berbagai perkara
.
Takdir adalah: Merenungkan dan memikirkan untuk menyamakan sesuatu. Qadar itu sama dengan Qadr, semuanya bentuk jama’nya ialah Aqdaar. [3]
Qadar, menurut istilah ialah: Ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk, sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan dikehendaki oleh hikmah-Nya. [4]
Atau: Sesuatu yang telah diketahui sebelumnya dan telah tertuliskan, dari apa-apa yang terjadi hingga akhir masa. Dan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menentukan ketentuan para makhluk dan hal-hal yang akan terjadi, sebelum diciptakan sejak zaman azali. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengetahui, bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan pengetahuan-Nya dan dengan sifat-sifat ter-tentu pula, maka hal itu pun terjadi sesuai dengan apa yang telah ditentukan-Nya. [5]
Atau: Ilmu Allah, catatan (takdir)-Nya terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu tersebut.
KEDUA : QADHA’
Qadha’, menurut bahasa ialah: Hukum, ciptaan, kepastian dan penjelasan.
Asal (makna)nya adalah: Memutuskan, memisahkan, menen-tukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankannya dan menyele-saikannya. Maknanya adalah mencipta. [6]
Kaitan Antara Qadha’ dan Qadar
1. Dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan qadar ialah takdir, dan yang dimaksud dengan qadha’ ialah penciptaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Maka Dia menjadikannya tujuh langit… .” [Fushshilat: 12]
Yakni, menciptakan semua itu.
Qadha’ dan qadar adalah dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak terpisah dari yang lainnya, karena salah satunya berkedudukan sebagai pondasi, yaitu qadar, dan yang lainnya berkedudukan sebagai bangunannya, yaitu qadha’. Barangsiapa bermaksud untuk memisahkan di antara keduanya, maka dia bermaksud menghancurkan dan merobohkan bangunan tersebut. [7]
2. Dikatakan pula sebaliknya, bahwa qadha’ ialah ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya Allah menetapkan sejak azali. Sedangkan qadar ialah terjadinya penciptaan sesuai timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya. [8]
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Mereka, yakni para ulama mengatakan, ‘Qadha’ adalah ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut.’” [9]
3. Dikatakan, jika keduanya berhimpun, maka keduanya berbeda, di mana masing-masing dari keduanya mempunyai pengertian sebagaimana yang telah diutarakan dalam dua pendapat sebelumnya. Jika keduanya terpisah, maka keduanya berhimpun, di mana jika salah satu dari kedunya disebutkan sendirian, maka yang lainnya masuk di dalam (pengertian)nya.
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits, Ibnu Atsir, (IV/22).
[2]. Mu’jam Maqaayiisil Lughah, (V/62) dan lihat an-Nihaayah, (IV/23).
[3]. Lihat, Lisaanul ‘Arab, (V/72) dan al-Qaamuus al-Muhiith, hal. 591, bab qaaf - daal - raa’.
[4]. Rasaa-il fil ‘Aqiidah, Syaikh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin, hal. 37.
[5]. Lawaami’ul Anwaar al-Bahiyyah, as-Safarani, (I/348).
[6]. Lihat, Ta-wiil Musykilil Qur-aan, Ibnu Qutaibah, hal. 441-442. Lihat pula, Lisaanul ‘Arab, (XV/186), al-Qaamuus, hal. 1708 bab qadhaa’, dan lihat, Maqaa-yiisil Lughah, (V/99).
[7]. Lisaanul ‘Arab, (XV/186) dan an-Nihaayah, (IV/78).
[8]. Al-Qadhaa’ wal Qadar, Syaikh Dr. ‘Umar al-Asyqar, hal. 27.
[9]. Fat-hul Baari, (XI/486).
[10]. Lihat, ad-Durarus Sunniyyah, (I/512-513).
Courtesy of almanhaj.or.id
Tuesday, October 30, 2012
Always there is first time
"Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah
sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat
yang dibikin manusia".
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan". (Q.S An-Nahl 68-69)
Subscribe to:
Posts (Atom)